Kamis, 05 Juni 2008

Jalan Sore

oleh: lukas deni setiawan

Nun dekat di sini, lebih dekat dari jarak lensa kamera ke view finder-nya dan lebih intim dari sepasang remaja yang baru mencoba berkasih-kasihan di beranda rumah saat gerimis petang, adalah sebuah genangan yang sering disebut sebagai rawa-rawa. Luas badannya tak seberapa, tak lepas dari jauh pandang mata bugil mengeliling. Tak begitu dalam kurasa, namun tak juga terlihat dasarnya. Diam dalam sabar bak pertapa sepuh yang tak jua merapuh, meski tubuhnya dihujam puluhan balok kayu yang ditanam petak-memetak namun menceng ke sana ke mari. Jelas tidak ada arsiteknya. Dari angle seekor katak yang sudah beranak-pinak menahun di tempat itu, balok-balok kayu tadi terlihat kerepotan untuk tetap bisa bertahan berdiri mencoba meraih angkasa. Tak tahu seberapa kuat ia, orang teknik sipil pun mungkin malas menghitungnya. Tingginya rata-rata tiga meter dan berlaku sebagai tiang pancang. Papan-papan kayu yang bopeng sana-sini dipasang berhimpitan membentang beberapa jengkal di atasnya. Nantinya susunan papan-papan itu akan menjadi seperti tanah tempat berpijak yang jelas-jelas tidak bisa dibajak.

Di salah satu petak tumbuh beberapa papan kayu lain, vertikal bergandengan hingga tangan kiri papan terakhir sisi yang satu bersama tangan kanan papan sisi yang lain menggamit empat tiang pancang. Luasnya seperempat lapangan bulu tangkis, atau lebih kecil malah. Nyempil pula beberapa bilah bambu di sela-sela papan untuk memanipulasi lubang-lubang yang terkesan ganjil. Mereka bahu-membahu menopang bambu-bambu utuh yang dipasang miring yang ujungnya saling bertemu menyudut membentuk segitiga, menggendong susunan genteng yang satu dua masih suka melorot. Ada lubang kotak setinggi orang dewasa untuk keluar masuk. Dan mereka menamakannya tempat tinggal. Home sweet home.

Lambat laun semakin banyak saja temannya. Kalau dilihat dari atas, lalau kita zoom out ke atas lagi dengan kamera yang dipasang pada jimmy jip setinggi tugu pancoran, maka akan tampak tubuh sang rawa-rawa hanya tersisa separuh. Dan hampir seluruh bagian yang tersisa itu tertutup oleh tanaman-tanaman air, enceng gondok dan familinya. Di sebelah kawasan itu mengalir dengan sangat malasnya sebuah kali yang penuh dengan limbah tahu, warna-warni sampah, dan zat-zat lain yang sudah tidak dapat teridentifikasi wujud dan asal-usulnya. Warnanya gelap-pekat seperti kecap bango yang billboard-nya berdiri mewah-angkuh terlihat siang-malam tak jauh dari situ. Bikin iri saja.

Mbak Susi keluar dari rumahnya membawa ember menuju ke sumber air satu-satunya di pemukiman itu. Sumur kecil yang airnya, kalau kita ingat ciri-ciri air sehat, jauh dari itu semua. Berwarna, berbau dan berasa. Namun tidak separah yang teman-teman bayangkan, air sumur itu tidak untuk dikonsumsi. Cuma buat nyuci dan mandiin anak saja kok. Mbak Susi harus membeli bila butuh air buat minum dan masak. Di tepi sungai itu ada yang menjual air bersih dan sehat, segar dan bugar. Setelah memasak dengan kayu, karenanya ia tidak terlalu pusing dengan konversi minyak tanah ke gas, sore itu mbak Susi membopong anaknya ke sebuah bilik berpintu korden yang terletak di antara rumahnya dan rumah tetangganya--yang katanya mantan pejuang itu. Di situlah ia memandikan anaknya. Air sisa mandi langsung meluncur ke rawa-rawa melalui lubang kecil di antara papan-panan yang dipijaknya. Lubang itu pula yang sering berperan sebagai kakus. Semua sisa pembuangan langsung ditampung dengan gemasnya oleh sang rawa-rawa yang setia menggenang di bawah tempat tidur mereka. 'Lucu'nya, bila buang air besar, tetangga mbak Susi punya metode lain. Masuk ke bilik membawa tas kresek kosong, menurunkan korden yang tersingkap, merenung beberapa lama, dan keluar menenteng tas kresek yang terlihat lebih gemuk mengembang. Berjalan sebentar ke tepi rawa, dan melemparkannya ke sana, tak peduli jatuh di bagian rawa sebelah mana, yang penting agak jauh dari rumah.

Bila gelap merayap, nyamuk pun siap bersantap. "Tidak hanya puluhan, Mas, ratusan", keluh mbak Susi sambil menunjukkan bentol-bentol yang merata di bagian kaki dan pantat anaknya. Namun di balik keluh-kesah itu, aku melihat pula senyum tawa gojekan sore hari mbak Susi bersama tetangga-tetangganya. Tanpa beban. Dan anak-anak pun bermain masak-masakan, memetik daun-daunan sekenanya dan menggepuk-gepuk pecahan genteng untuk dijadikan bumbu. Sreng-sreng suara anak-anak itu berbaur dengan bau rawa yang tertiup angin sore. Tangis mereka tak kentara, tawa mereka pecah di angkasa menutupinya. Terus begitu setiap harinya. Sambil bergelak menggendong hidup.

Sembari menendang-nendang kerikil yang aku yakini adalah saksi bisu tebalnya kulit kaki orang-orang yang hidup di situ, aku pulang. Sempat aku berpikir, orang-orang ini lebih kuat daripadaku. Diperbaja oleh apa yang bagiku bernama penderitaan. Aneh, mengapa golongan orang yang bisa sekuat itu dalam menghadapi penderitaan, justru menderita terus. Sebagai jurnalis, apa yang bisa kita tulis dan gambarkan? Apakah cukup 'hanya' dengan menyusun sebuah jurnal yang utuh mengenai hal ini? Aku tidak tahu! Aku malah menjadi takut dan merasa bersalah, bila ternyata apa yang kutemui di lapangan tidak akan muncul sebagai apa-apa. Dan aku pun akan semakin bertanya-tanya bila ternyata ada jurnalis yang mengaku sebagai humanis, namun cukup puas dengan perut kenyang, tubuh tertutup, dan anak-anaknya cukup terjamin dengan pendidikan dan pengajarannya. Kata Pram*, ini adalah sebuah bentuk humanisme luxe, seperti halnya dengan cerutu dan gincu. Humanisme seperti ini sama nilainya dengan apa yang dikenal di Indonesia dengan kata, "Kasihan mereka, tapi jangan ganggu kesenangan dan kemakmuranku!"

Aku keluar dari lingkar keruh pemukiman itu. Muncul di mulut gang dan bersiap menyeberang. Dipaksa berhenti agak lama karena harus menunggu jalan sela yang dipenuhi oleh gelindingan roda-roda truk-truk tronton dari dan ke tanjung priok yang salah satunya mungkin sedang mengangkut mobil Range Rover Sport Supercharged.

Dalam kondisi seperti inilah seabad kebangkitan dirayakan besar-besaran.


*Pramoedya Ananta Toer


p.s. :
Maxim Gorki mengatakan: The people must know thier history. Dan Iwan fals sudah menyahutnya dengan lagu: "Kontrasmu Bisu". Kita ngapain ya enaknya?