Sabtu, 21 Maret 2009

Drama Satu Babak

Apakah estetika sering di(kau)pakai untuk menutupi kebenaran?
oleh: lukas deni setiawan

Tiga hari yang lalu, saya melihat dua orang tua, mungkin suami istri, sedang menyeberang jalan. Karena sedikit khawatir dengan kendaraan-kendaraan yang cenderung kencang, mereka melakukannya dengan sedikit berlari. Lampu-lampu kendaraan itu membuat mata mereka yang mungkin sudah tidak 'permana' lagi, silau bukan main. Saat itu sudah malam, sekitar jam sembilan lah. Sukses sampai di seberang, sang istri mendadak merasa kehilangan. Ia segera menengok ke belakang ingin mengetahui keadaan suaminya yang tiba-tiba tidak ada di sampingnya. Sejurus kemudian ia mendapati sang suami sedang sibuk membenarkan sandal jepitnya yang putus (atau copot jepitannya). Sambil menyelipkan tas kresek--yang entah isinya apa--di ketiak kanannya, sang istri pun secara spontan menghampiri sang suami dan berempati dengan ikut memperhatikan keadaan sandal itu. Di lain 'frame', wajah sang suami menunjukkan keras usahanya memperbaiki sandalnya. "Wah, copot meneh", bacaan saya pada bibir sang suami. Dan diawali dengan pegangan tangan sang istri pada pergelangan tangan suaminya, akhirnya mereka melakukan ‘adegan’ itu sambil bergerak naik ke trotoar. Sang suami pun melakukannya secara gopoh-gapah dengan satu sandal. "Duh, mesranya", batinku. Trotoar itu sendiri agak gelap sebab penerangan di sekitarnya hanya berhenti pada tempat saya duduk. Saya duduk bersama seorang teman saya pada sebuah tikar yang disediakan oleh warung angkring yang gerobaknya berseberangan trotoar dengan tempat saya duduk, dipisahkan oleh jalan masuk menuju sebuah kantor tua milik pemerintah yang pada bagian atas gapura pintu masuknya bertengger sebuah neon. Neon itulah yang menerangi tempat saya duduk. Agak ke sana sedikit, tempat mereka akhirnya berhenti untuk lebih berkonsentrasi membenarkan sandal, sudah remang-remang. Bagi saya penerangan itu cukup sebab saya masih bisa membedakan mana ceker, mana kepala ayam, dan mana ati ampela. Dan dalam remang-remang itu saya masih bisa mengkuti gerak-gerik mereka, sorotan beberapa lampu kendaraan membantuku untuk bisa 'stay tune'. Saya kira, saking akrabnya dengan sandal itu, mereka pun tidak membutuhkan banyak penerangan untuk memperbaikinya. Entah sambil membicarakan apa, mereka terus bergumul dengan sandal itu. Dan sambil mempertahankan mata saya pada kedua orang tua itu, saya mengambil ceker bakar dan mengunyahnya. Sampai tulang-tulang ceker itu remuk, mereka belum selesai juga. Sesekali sang suami 'jengkeng', sang istri pun mengikutinya. Kemudian berdiri lagi, tangannya seakan menekan dengan lebih gigih supaya jepitannya dapat masuk ke lubangnya semula, kemudian menunduk, 'nggeget untu'. Lalu muncul seruan "Hah...", tanda belum bisa juga. Namun, mereka tiba-tiba saja sudah tidak ada ketika saya menoleh sebentar mimum susu jahe yang tinggal separuh itu untuk menggelontorkan kulit dan sedikit tulang dari cakar tadi yang rasanya masih berhenti di tenggorokanku. Mungkin mereka sudah berhasil melewati sesi itu. Kumiringkan sedikit badanku untuk bisa melihat mereka. Mereka belum jauh berjalan dengan ekspresi wajah yang biasa (se-biasa peradaban memperlakukan mereka barangkali) .... Agaknya mereka selalu dapat--sukses dengan mesra--melewatinya. Satu sesi yang membuat saya iri sekaligus bertanya-tanya: sandal jepit merek apa yang sang suami itu pakai? Damn! Pertanyaan yang sangat tidak penting buat mereka .... Tapi mungkinkah menarik buat kita ????

Di sana, menyembul sebuah (kalau boleh saya sebut sebagai) estetika, yaitu kemesraan (yang siapapun boleh memiliki karena memang bukan kepunyaan siapa-siapa). Saya tidak berharap banyak dari 'adegan' itu (selayaknya saya juga tidak ingin menjadi orang yang naif dalam menginterpretasikan 'adegan' itu sebagai sesuatu yang 'Wah!' dan layak diperbincangkan). Saya hanya ingin kota (Jakarte) ini tidak memihak. Atau kalaupun 'terpaksa' memihak, kepada mereka lah seharusnya.

Saya jadi merasa salah dengan judul yang saya buat. 'Adegan' itu bukanlah sebuah drama (satu babak). 'Adegan' itu adalah sebuah fenomena yang terjadi pada malam tiga hari yang lalu, dan mungkin bisa terjadi pula pada berjuta-juta babak, baik tiga tahun lalu, malam ini, besuk atau lusanya masa depan. Saya yakin kemesraan dan kenyataan (begitu juga estetika dan kebenaran) adalah hal yang bisa eksis secara bersama-sama. Tidak saling menutupi atau bahkan menghilangkan. Hehehehe .... Namun bila paragraf di atas kau rasa adalah bagian dari 'proyek' menutupi dan menghilangkan itu, maka renggut saja-lah, 'untel-untel' di kepalan tanganmu dan saya akan menyediakan tong sampahnya. Huhuhuhu ....

Rileks saja, Kawan. Sebelum memutuskan, ada baiknya kuperkenalkan dulu engkau pada percakapan (yang terjadi di dalam sebuah mobil yang berjalan menuju rumah setelah makan siang di sebuah rumah makan sederhana) berikut:

+ Why don't you and dad like each other?
- Did your dad tell you that?
Well, we're just ... we're just different.
We have different opinions doesn't mean we don't like each other.
I mean, do you agree with him about everythimg?
You shoudln't!
+ Why not?
- Because it's important that people have their own views based on an understanding of facts.
But it's also important not to trust the facts because most of them are lies ....
+ I don't understand.
- Well, it's basically comes down to a gut thing.
You just have to be open to allowing for a truth which differs from your own opinions,
or else you'll never actually see the truth at all.[]
(a 'holy' dialogue between nieces and their uncle, captured from the movie of 'Grace is Gone')

Senin, 09 Maret 2009

Boys Do Cry

Hampir 28 umurku
pengetahuanku masih 14
kalah jauh dibanding Sophie Amundsen

Kapan Pram akan datang ke rumahku,
memintaku membuang susu dan terus terjaga,
memintaku membaca caping dan terus mengkritiknya?

"Bukan burger dan pizza yang aku maksud
tapi tempe dan tahu di cobek itu.
Bila kalah, akuilah.
Mengangislah sekali-kali
tapi jangan cengeng,"
kata suara yang datang dari dalam almariku.

Suara itu tidak enak didengar,
selalu memintaku untuk tidak terlena.
"Kau sudah sering jadi pengecut," katanya lagi.
Menyakitkan walau benar.