Selasa, 18 November 2008

Kematian Itu

oleh: lukas deni setiawan

Kata orang, bila burung gagak berkoak-koak di atas sebuah rumah, maka sebentar lagi akan ada kematian di rumah itu.

Tidak ada tanda-tanda seperti itu di rumah ini, namun kematian tetap saja hadir (bahkan tanpa prolog). Serentak segala aktivitas pun tertahan. Tangan yang baru memegang gergaji berhenti maju-mundur. Jari-jari yang menari di atas keyboard memutus ritmenya. Kaki berotot yang sedang tergesa melangkah menahan bakul direm seketika. Pikiran rumit yang sedang berusaha mengembangkan naskah drama pun dipaksa berbelok mematahkan alurnya semula. Dapur mengurangi asapnya.

Angin tetap semilir membelai daun-daun yang mekar di tanah di mana para pohon suka bermusyawarah. Kalem ranting-ranting itu menari, tak mampu menahan udara dingin langit yang tembus hingga menerobos pintu dan jendela para tetangga, membawa suasana menjadi semakin haru. Mengiringi langkah para pelayat satu-satu menuju rumah persemayaman itu. Dan keluarga menunggu, tissue dan sapu tangan bersatu membendung air mata yang tak jua habis jatuh sejak pertama kali mereka berucap Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Emosi terasa diperas, namun tenaga terus saja ada untuk menerima jabat duka kolega dan tetangga.

Malampuai malam, mata yang sembab itu terus saja mencoba mencari arti semuanya. Melihat jauh menembus dinding rumah duka itu. Tembus jauh ke awang-awang dan harus tersentak kembali fokus pada para tamu yang menggugah lamunan.

Di luar rumah, mengembanglah sejarah. Biografi sang jenazah di masa kecil, muda dan akhir penantian hidupnya muncul kembali dalam bentuk cerita-cerita pendek para pelayat. Mulut-mulut itu saling bertutur, menceritakan hikayat sang jenazah menurut versi masing-masing, seingat mereka. Berbaur mengurangi kesedihan. Menghibur walau disambut dengan tawa dan senyum kecil seadanya. Dan mereka pun datang dan pergi seperti orang-orang di supermarket. Kesedihan pun menuju titik minimumnya. Senyum pun mulai mendapat tempatnya. Keluarga duka bisa menahan emosi dukanya. Sedih mulai tidak terasa, sebab penghiburan datang dari mana-mana.

Burung tetap pada perannya. Memberi nyanyian pada hari-hari. Berkacak pinggang, saling menggoda dan terbang pindah ke ranting pohon belakang rumah memberi suara latar pada mbak-mbak yang sedang menyatu dengan masakan mereka di bawahnya. Lebur dalam guyubnya solidaritas penderitaan yang lahir melalui rasa haru terhadap kesedihan keluarga duka. Anak ke-10, matanya sembab. Mondar-mandir menemui para tamu. Berusaha melupakan kesedihannya sendiri. Namun tetap tak bisa lupa pada kesedihan ibunya. Sang ibu pun bersimpuh, menemani jenazah yang sudah kaku tertutup kain membujur. Pikirannya tersumbat perasaannya.

Di manakah keindahan di saat seperti ini?

Ketika emosi mereda dan suasana semakin menjadi biasa, anak ke-14 datang dari luar kota. Meledaklah tangis itu kembali. Membuyarkan cerita dan dialog ringan yang sudah mulai enak itu. Ketegangan mengeluarkan aromanya. Lalu reda lagi. Dan begitu seterusnya berganti-gantian rasa sedih dan tenang itu sahut-menyahut hingga sampai liang lahat. Dan pecah lagi kesedihan itu, lalu seperti bersama-sama, penghiburan itu pun ber-choir mencapai puncaknya pada bit yang tertinggi.

Kemudian semua pulang dan senyap. Rasanya jam di rumah selalu menunjukkan pukul dua pagi. Hening. Bening. Dan kosong. Hinggaplah rasa itu untuk kesekian kalinya. Kali ini pada kesendirian yang benar-benar. Seluruh panca indera mengecp rasa yang sama, kesedihan itu.

"Ibu, Engkau tidak apa-apa?", tanya sang anak.

"Hidup asalnya sendiri, jadi kalau kembali sendiri, ya itulah inti hidup. Kalau sedih tak diajarkan, jadi ya sangat biasa. Menjadi luar biasa karena ditinggalkan yang dicintai. Jadi sedihnya luar biasa", kata temanku yang baru saja kehilangan bapaknya beberapa hari yang lalu.

Burung gagak itu bertengger di salah satu pohon yang ditanam sang bapak sewaktu kecil, ia tercekat.

Sabtu, 08 November 2008

Tapi Tapi (2)

oleh: lukas deni setiawan

Desa Tapi Tapi, Kecamatan Bone, Kabupaten Muna, Selawesi Tenggara.

Warga desa ini sebagian besar nelayan, langsung bertahan hidup dari laut, dari alam. Salah satu profesi yang seharusnya membuat iri banyak orang. Mereka butuh menangkap ikan kerapu di laut lepas untuk hidup. Sehari-harinya, ikan kerapu yang berhasil dibawa pulang tidaklah seberapa. Hasil penjualannya pun hanya cukup untuk hidup satu-dua hari. Nelayan yang sedang beruntung, bisa menabung sedikit-sedikit. Oleh karena itu, taraf kehidupan warga desa ini relatif sama. Dan sepertinya mereka menikmati relativitas itu.

Musim angin barat tiba memaksa mereka harus absen melaut. Sebab musim ini selalu membawa angin yang besar bahkan badai di laut. Mereka yang sebagian besar hanya mengandalkan sampan-sampan kecil tak bercadik tidak berani menantangnya. Seberani-beraninya mereka, sekuat-kuatnya otot-otot itu, tidak seampuh gemuruh alam raya. Mereka sadar, kapan bisa mendulang alam, dan kapan harus menghormatinya dalam keagungannya. Mereka yang nekad bisa mati konyol. Karenanya mereka memilih tidak berangkat ke laut pada musim itu.

Musim ini memang masa paceklik yang buruk. Pegawai kantoran tidak biasa mengalami kondisi seperti ini, kecuali ada PHK. Dan bila memang ada, seringkali mereka kelabakan. Jarang ada pelatihan 'Bagaimana cara mengatasi masa setelah PHK'. Nelayan di sini tidak begitu, 'PHK' oleh musim angin barat yang mereka alami tiap tahun, melatih mereka untuk lebih kreatif mempertahankan keteraturan nafas mereka. Sebab mereka pun tidak bisa kalau tidak makan selama musim ini. Maka mereka, terutama kepala keluarga dan istri, merantau ke darat untuk berburu nafas lanjutan. Baik sebagai pembantu tumah tangga, buruh bangunan, buruh cuci, maupun cari kerja serampangan yang tidak bisa diandalkan pemasukan setiap harinya. Tidak banyak orang yang bisa memberikan pekerjaan kepada orang yang hanya mempunyai waktu kerja 3-4 bulan setelah itu memutuskan untuk berhenti. Maka pekerjaan serabutanlah yang kebanyakan mereka dapatkan. Tengok sana-sini, ketemu apa yang bisa menghasilkan upah, kerjakan.

Upah mereka sangat minim dan tidak setiap hari pula datangnya. Namun mereka tetap bisa memerankan lakon hidupnya, walau menjadi insan yang sangat irit. Tidak terbayang irit mereka seperti apa, sebab di musim yang akrab pun mereka sudah hidup irit. Namun begitulah, ilmu kungfu mereka memang ampuh. Tingkat survival mereka sangat tinggi. Sementara, bagi yang bisa menabung, ternyata hanya cukup untuk beberapa minggu saja dan tetap harus mencari sambilan. Tetapi ada pula yang bisa bertahan lama dari tabungan dan memilih untuk istirahat saja selama beberapa minggu. Bagi mereka masa ini adalah masa reproduksi yang optimal. Banyaklah jumlah anak-anak mereka.

Melihat kondisi ini, seorang nelayan di sana, Udu Nusing namanya, mampu berpikir melampaui adatnya. Ia sudah jengah dengan masa paceklik itu. Masyarakat banyak waktu menganggur, dan bila bekerja pun harus menjadi buruh yang sebenarnya menurunkan 'derajat' mereka dari manusia bebas menjadi manusia yang cenderung atau dipaksa melupakan jati dirinya. Maka, Udu Nusing pun berinovasi. Ia menggali sebagian pasir yang menutupi terumbu karang di tepi desa mereka untuk membuat keramba (semacam tambak) tancap galian. Inilah salah satu contoh praktik ilmu kungfu jenius yang saya sebutkan tadi. Dengan begitu, terumbu karang yang semula tertimbun pasir dan tidak bisa dijadikan tempat hidup satwa, berseri kembali. Mereka membuat pagar jaring seluas lapangan bola. Pada waktu air pasang, ikan-ikan pun menemukan habitatnya di keramba itu dan akan tetap tinggal ketika air surut. Di habitat yang menyenangkan itu, ikan-ikan akan menjadi betah. Sebenarnya ikan-ikan kecil bisa saja keluar dari lubang-lubang pagar jaring itu dan memilih laut lepas, tetapi sekali lagi karena habitat di situ menyenangkan, maka mereka memilih untuk tetap tinggal di situ, apalagi setiap hari diberi tambahan makanan oleh para nelayan. Jadi nelayan-nelayan di situ masih bisa melaut seperti biasa dan akan tetap punya penghasilan walau datang angin musim barat. Ikan-ikan di keramba itu tidak kalah besar dan enak dibanding ikan yang mereka tangkap di laut lepas.

Hebatnya, Udu Nusing tidak memanfaatkan sendiri idenya itu, ia ajak para tetangganya. Ia tidak mau berhasil dan kaya sendirian. Dengan begitu, inovasi ini bisa dipakai pula oleh nelayan yang lain, pun nelayan dari daerah lain dapat belajar darinya. Gratis! Ini adalah pengejawantahan rasa haru (compassion), sebentuk rasa yang mencirikan (masih) adanya manusia. Huh, I like this man!

Mereka pun masih bisa bertahan dari serangan virus hidup, pemupukan kapital. Kapitalisme dihantam keras oleh kesederhanaan berpikir Udu Nusing yang hanya ingin melihat nelayan di Tapi Tapi hidup dari alam dan selalu kembali kepadanya. Bukan dari upah menjadi buruh. Sehingga berbahagialah mereka yang masih bisa mengail hidup langsung dari alam tanpa rebutan, tanpa merusak ekosistem, tanpa mengorbankan masyarakat di sekitarmya, dan masih bisa mengenalkan kepada anak cucu mereka alam yang agung sekaligus bersahaja ini, yaitu jagad alami yang bersedia mengisi perut mereka dengan tidak tergesa-gesa. Konsisten seperti pohon yang tumbuh perlahan-lahan di kebun kita.

Dan aku yang duduk sekota dengan Iwan Fals pun menjadi sangat iri kepada para nelayan itu. Lebih iri lagi setelah di satu malam di posisi dudukku yang tak pernah sempurna dan selalu dihinggapi rasa kantuk yang memburu ini, aku dibuat terjaga oleh satu paragraf novel Roro Mendut-nya Romo Mangun: "Tak banyaklah nelayan tua dengan pemuda itu membawa hasil usaha sepanjang malam untuk dijual, menegakkan periuk nasi si ibu di dapur. Tetapi kekayaan tak ternilai yang mereka nikmati ialah kemerdekaan, cakrawala luas, lagu-lagu haru, deru angin, dan bunyi gairah senggakan merpati-merpati laut".

Lalu aku tertidur, mimpiku terjaga.

Kamis, 16 Oktober 2008

Tapi Tapi

oleh: lukas deni setiawan

Kutatapkan perhatianku pada gerak-geriknya. Bocah perempuan gesit, pemilik rambut sebahu yang kusut-acak itu. Sepertinya, rambut itu belum pernah tersentuh sunsilk, pantene, emeron ataupun head and shoulder. Ah, apa mungkin sebaiknya bocah itu tidak perlu mengenal mereka. Biarkan rambut itu tumbuh alami walau menjadi sedikit bau dan berkutu. Bila terlanjur kenal, takutnya, kata orang, sama seperti nyobain narkoba, pakai shampoo sekali dua kali akibatnya akan keterusan dan perlahan-lahan terjebak pada keinginan untuk susah-susah meng-highlight dan rebonding. (Apa yang sebenarnya kau cari dari warna dan kemilau rambutmu, wahai kekasihku?). Cut!!!

Kedua tangan bocah perempuan itu, yang mungkin jarang sekali ia pergunakan untuk membenarkan tatanan rambutnya, mencengkeram dayung kayu tua yang saya takar usianya melebihi umur kakek bocah itu. Ia pun berjongkok mapan di ujung sampan tak bercadik itu sambil sekali-kali menolak-nolak air laut yang menopang sampannya. Ke kiri, ganti kanan, tolak, tolak, ganti kiri, kanan lagi, meluncur sebentar dan kemudian ototnya keluar untuk segera mengerem. Sungguh tangkas ia bermanuver. Ia tolak lagi air di sebelah kiri sampan untuk segera ngepot ke kanan dan masuk di antara permukaan air dan kolong rumah panggung. Kondisi itu memaksanya sedikit membungkuk untuk menyelamatkan kepalanya dari benturan balok-balok kayu yang menopang lantai rumah-rumah itu untuk kemudian muncul lagi dan berhenti di bawah plang bertuliskan "Agen Air tawar".

Sementara ia duduk di ujung sampan, dijejerkannya sepuluh jerigen warna-warni mepet dari depan kakinya berbaris membentuk dua kolom memanjang sampai ujung yang lain sampan itu. Apa itu isinya? Air. Di desa ini air tawar memang susah ditemui, secara alami memang tidak ada. Pantas saja, sebab bila kita berdiri di pinggir desa, selepas mata memandang, yang tertangkap retina hanya ... hanya ... emm ... ya, cakrawala. Desa ini dikelilingi oleh persinggungan yang romantis-eksotis antara air laut dengan langit dan akan lebih elok lagi bila matahari dengan warna sorenya yang khas itu ikut threesome, sementara kau duduk di pinggir desa menikmatinya.

Bisa jadi, bila diajak jalan-jalan ke jakarta, lewat bundaran HI, taman menteng, water bom cikarang, dan istirahat di taman-taman lain kota itu, orang-orang desa ini barangkali akan menyesalkannya. Tidak terkecuali bocah itu. Sebab, di desa ini, bila ingin minum atau memasak, air itu harus mereka beli dari darat, sementara air mancur metropolitan itu muncrat ke sana ke mari berhamburan untuk menggembirakan permainan irama sang kodok yang kerjaannya cuma kerak-kerok itu. Namun rasa sesal itu mungkin juga tak kunjung dapat ia alami, sebab siapa juga yang mau mengajak ia datang jakarta? (Mungkin harapan bocah-bocah di sini tersandar pada si Bolang atau Surat Sahabat?) Sudah banyak orang yang tahu dan mafhum akan kondisi ini, tetapi entah baru berapa yang bertindak. Mungkin kebanyakan hanya datang berkunjung, mencermati dengan (kurang) teliti, pulang, dan menulis cerita di milis atau blog alakadarnya (seperti saya).

Tapi sejenak kusadari bahwa ini bukanlah tamasya. Tapi berkat. Mak! Berkat? Buatku? Dan kemalangan buat mereka? Subhanallah! Ah, berubah pikiran aku ....

Air mulai dituangkan ke tong plastik yang ukurannya sekitar lima kali lebih besar dari jerigen milik bocah itu melalui selang-selang yang sebelumnya telah dipancing dengan pompa putar manual. Maka ibu yang menjaga warung agen air itu pun siap menerima tetangga-tetangga yang butuh air. Jelas, hal ini adalah kebutuhan, batinku, bukan nafsu atau hanya sekadar hasrat untuk menjaga prestige. Bumi ini karunia, pikirku, air ini juga. Tapi karunia untuk siapa? Siapa saja yang berhak menerimanya. Bukankah orang-orang desa ini juga sudah membangun masjid (walau belum bisa rampung sejak dua tahun yang lalu)? Ambyar pikiranku mengingat sola ini. Jiwaku sekonyong-konyong tertutup kabut kenyataan dan tak kuasa untuk memahami hal yang mengawang-awang seperti ini. Memiliki pikiran yang seperti ini di tengah desa yang seperti itu, tiba-tiba saja aku merasa menjadi manusia yang kosong mlompong bolong gejeglong-jeglong. Nihil. Manusia yang tidak ada nilai gunanya, mengambang di lautan dan pastinya dengan segera akan merindukan tenaga untuk bisa berenang mendekati dan merengkuh rumah-rumah kayu yang didesain tinggi layaknya gupon (rumah merpati) itu. Dan gupon-gupon inilah yang bersatu padu membentuk desa Tapi Tapi, sebuah desa terapung setengah jam menyeberang dari pulau Muna Sulawesi Tenggara. Waktu ke sini, aku berangkat dari jakarta pukul 18.00 wib naik pesawat, sampai di kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, sekitar 3 jam. Dari kendari menyeberang ke pulau Muna 3 jam perjalanan naik kapal feri yang sehari cuma 2 kali jalan. Dari ujung pulau Muna yang satu, naik mobil ke ujung yang lain sekitar 4-5 jam perjalanan darat yang separuh jalannya mirip relief candi borobudur, cuma nggak ada alur ceritanya. Dari situ menyeberang setengah jam naik sampan dan sampailah aku di sini.

Rumah jenis panggung saja yang bisa berdiri di desa itu. Rumah-rumah itu lebih terkesan "lahir karena keadaan" bukan karena adat kebiasaan apalagi tren. Mereka berdiri di atas karang di tengah laut yang luasnya sekitar lima kali Anfield, lapangan bola yang jadi tumpuan keringat dan air mata Steven George Gerrard. Sangat alami, seperti jamur yang tumbuh di potongan batang kelapa yang sudah rapuh dan bolak-balik dibelai hujan, atau seperti embun bagi daun pagi-pagi. Kalau air laut surut, pasir-pasir kasar di karang itu sudah siap sedia dihinggapi telapak-telapak kaki Ijol, Lintu, Pardin, Jamudin, Kirjo serta pantulan-pantulan bola sepak yang sekalipun ditendang ke arah mana jua tidak akan memecahkan kaca. Karena memang sulit menemukan jendela kaca di sana. Namun langit malah bisa jebol oleh teriakan semangat mereka, runtuh dihantam tendangan-tendangan fals yang sarat dendam kesumat pada bola-bola nasib.

Kalau tahun 2012 seluruh es di Greenland jadi mencair karena sudah tidak tahan gerah, maka bisa dipastikan desa mereka akan lenyap. Sebab saat hal itu kejadian, air laut sudah naik kurang lebih 7 meter. Set dah! Coba deh tanya sama Al Gore.

Aku (sendiri) masih duduk ongkang-ongkang kaki di salah satu gang desa itu. Gang itu terkonstruksi dari papan-papan kayu tebal berjajar yang sebagian dipaku sebagian tidak. Kalau sedang sial, kamu bisa salah injak dan terpelanting nyemplung di laut. Enam gang besar dan puluhan jalan setapak melintang-sintangi kumpulan rumah yang dihuni sekitar 450 keluarga itu. Bayangkan berapa banyak anak-anak seumuran anak SD di desa itu sementara hanya ada satu bangunan SD di situ. Aku ingat pernah bertanya pada beberapa anak kecil yang sedang bermain kelereng pagi-pagi, kenapa mereka tidak bersekolah, jawab mereka karena gurunya baru libur. Kapan gurunya masuk? Nggak tahu. Lah! Aneh! Belakangan kuketahui, guru-guru SD yang diperbantukan di desa itu memang banyak yang tidak kerasan. Sekalipun ada yang sedikit kerasan, bila rindu darat, mereka akan pulang tidak sesuai jadwal. Kapan rencana mau libur dan kapan mau balik lagi (kalau mau balik lagi) hanya guru itu seorang yang tahu. Kalau rencana itu jadi, main kelereng lah anak-anak kecil itu. Bocah perempuan itu lebih banyak waktu bermanuver untuk membantu ibunya mencari air tawar. Dan sebagian lagi membantu ayahnya memasrahkan sampan mereka kepada riak laut untuk segera menjaring kehidupan.

Lalu kapan kapitalisme mulai berjangkit di desa ini?

Sudah lama barang kali, hanya tidak terdeteksi, sebab ia merasuk sangat perlahan, seperti suntikan maut yang mulai merasuk ke nadi kita dan membuat kita lambat laun tidak sadar, pingsan, dan ....

Alam pun membisu. Aku beranjak dari tempatku duduk. Memutar sedikit leherku untuk melemaskannya. Sementara mataku mengikutinya berkeliling, tersapu beberapa parabola yang nangkring di atap rumah-rumah tah jauk dari tempatku berdiri.


Segera kulangkahkan kaki, merasa kalah lagi ....

Minggu, 05 Oktober 2008

Pasar Tempe

Kawan lihat ...

di kotaku lahir pasar
di pasarku menumpuk tempe
di piringku dia mati untuk hidupku
siang makan nasi
malam minum kopi

Kawan dengar ...

di kotaku mati pasar
di kotaku lahir pasar-super sonder tempe
di piringku dia tiada Nduk, tiada
pasar ilang kumandange
piring ilang tempene

Kawan rasakan ...

pasar itu selagi bau
tempe itu selagi hangat
bersamaku
bersama mbok-ku

Sabtu, 09 Agustus 2008

Berkebun 'Ku di Cakrawala

Berkebun 'ku di cakrawala. Kujejak tanahnya, kucangkul kesepian. Kupijak lumpurnya, kubajak kesendirian. Kubolak-balik lagi tanahnya, kutemukan cacing-cacing. Meringis. Meringis? Oh tidak, mereka merintih. Oh iya, mereka merintih minta ampun. Tetapi tak kuampuni. Hahaha. Egoisku sedang meradang. Kulanjutkan lagi cangkulanku, semakin banyak saja cacingnya. Tetapi tetap tak goyah imanku, tak tersentil belas kasihku. Sampai cangkulku terantuk tanah keras. Selintas jadi ingat kepala Hitler. Kuberhenti sak udud-an. Tak lama, lampu di kepalaku memberi sinyal. Dengan cekatan kurogoh hatiku. Mencangkullah sekarang aku dengannya. Tak mempan juga ternyata. Sakit sekali rasanya malah. Kucangkul lagi petak sebelahnya, tak mempan lagi. Kumelompat ke petak lainnya lagi. Random sajalah pikirku setengah putus asa. Pada petak yang entah keberapa, patah cangkulku di situ. Aku tertawa sendiri. Lalu diam. Dan tersenyum simpul. Lalu diam lagi. Perlahan kulirik cangkulku yang patah itu, kubelai dan kurekatkan lagi lukanya dengan semangat. Hah, lanjut! Keras dan semakin hebat saja aku mencangkul ke sana ke mari. Bag bug bag bug. Bag bug bag bug. Terus begitu tanpa sempat kulirik sekeliling. Nihil!

Dan pada satu titik, aku berangsur undur. Ngaso dan berniat retreat. Ada masalahkah dengan cangkulku? Adakah yang salah dengan caraku mencangkul? Undurlah undur, pikirku.

Maka gemuruh suara cangkulan itu pun mereda. Aku mengambil jarak, menjauh. Menunduk dan bersimpuh. Kugenggam cangkulku erat, kudekatkan ke dadaku. Kumasukkan lagi ke cangkang hatiku perlahan. Pelan. Kurasakan. Lalu aku bersandar. Kubuang pandang jauh, kutangkap horizon itu dengan retinaku. Tak kuasa dia menahan keindahan lembayungnya sendiri. Senja yang sempurna. Senja yang tak lama. Lembayung fade out. Lampu-lampu kota fade in. Lalu mengalirlah bayu masa lalu, mengusap peluh dan kusamku. Berpijar pula kehebatan masa silam, indah kemilau menyaingi lampu-lampu kota itu. Sungguh, romantisme kadang menyenangkan, kenangan acapkali menenangkan. Tetapi ... mak jenggirat ... bangsat keparat ... kudibangunkan nyamuk-nyamuk yang tak pernah nguntal huruf dan angka, yang secara teaterikal malah bergaya demo menancapkan baliho raksasa tepat di depan mataku yang semakin sayu. Lantang seruan di baliho itu berteriak: "Masa depan lebih mendesak!" ... dan echo di mana-mana ... echo di mana-mana ... di mana-mana ... Lalu lirih dan senyap.

Subuh merekah, seiring dengan tersulutnya kerinduanku pada kebun di cakrawala.

"Jatuh cinta, Kapiten?"
"Patah hati, Bego!"

Kamis, 05 Juni 2008

Jalan Sore

oleh: lukas deni setiawan

Nun dekat di sini, lebih dekat dari jarak lensa kamera ke view finder-nya dan lebih intim dari sepasang remaja yang baru mencoba berkasih-kasihan di beranda rumah saat gerimis petang, adalah sebuah genangan yang sering disebut sebagai rawa-rawa. Luas badannya tak seberapa, tak lepas dari jauh pandang mata bugil mengeliling. Tak begitu dalam kurasa, namun tak juga terlihat dasarnya. Diam dalam sabar bak pertapa sepuh yang tak jua merapuh, meski tubuhnya dihujam puluhan balok kayu yang ditanam petak-memetak namun menceng ke sana ke mari. Jelas tidak ada arsiteknya. Dari angle seekor katak yang sudah beranak-pinak menahun di tempat itu, balok-balok kayu tadi terlihat kerepotan untuk tetap bisa bertahan berdiri mencoba meraih angkasa. Tak tahu seberapa kuat ia, orang teknik sipil pun mungkin malas menghitungnya. Tingginya rata-rata tiga meter dan berlaku sebagai tiang pancang. Papan-papan kayu yang bopeng sana-sini dipasang berhimpitan membentang beberapa jengkal di atasnya. Nantinya susunan papan-papan itu akan menjadi seperti tanah tempat berpijak yang jelas-jelas tidak bisa dibajak.

Di salah satu petak tumbuh beberapa papan kayu lain, vertikal bergandengan hingga tangan kiri papan terakhir sisi yang satu bersama tangan kanan papan sisi yang lain menggamit empat tiang pancang. Luasnya seperempat lapangan bulu tangkis, atau lebih kecil malah. Nyempil pula beberapa bilah bambu di sela-sela papan untuk memanipulasi lubang-lubang yang terkesan ganjil. Mereka bahu-membahu menopang bambu-bambu utuh yang dipasang miring yang ujungnya saling bertemu menyudut membentuk segitiga, menggendong susunan genteng yang satu dua masih suka melorot. Ada lubang kotak setinggi orang dewasa untuk keluar masuk. Dan mereka menamakannya tempat tinggal. Home sweet home.

Lambat laun semakin banyak saja temannya. Kalau dilihat dari atas, lalau kita zoom out ke atas lagi dengan kamera yang dipasang pada jimmy jip setinggi tugu pancoran, maka akan tampak tubuh sang rawa-rawa hanya tersisa separuh. Dan hampir seluruh bagian yang tersisa itu tertutup oleh tanaman-tanaman air, enceng gondok dan familinya. Di sebelah kawasan itu mengalir dengan sangat malasnya sebuah kali yang penuh dengan limbah tahu, warna-warni sampah, dan zat-zat lain yang sudah tidak dapat teridentifikasi wujud dan asal-usulnya. Warnanya gelap-pekat seperti kecap bango yang billboard-nya berdiri mewah-angkuh terlihat siang-malam tak jauh dari situ. Bikin iri saja.

Mbak Susi keluar dari rumahnya membawa ember menuju ke sumber air satu-satunya di pemukiman itu. Sumur kecil yang airnya, kalau kita ingat ciri-ciri air sehat, jauh dari itu semua. Berwarna, berbau dan berasa. Namun tidak separah yang teman-teman bayangkan, air sumur itu tidak untuk dikonsumsi. Cuma buat nyuci dan mandiin anak saja kok. Mbak Susi harus membeli bila butuh air buat minum dan masak. Di tepi sungai itu ada yang menjual air bersih dan sehat, segar dan bugar. Setelah memasak dengan kayu, karenanya ia tidak terlalu pusing dengan konversi minyak tanah ke gas, sore itu mbak Susi membopong anaknya ke sebuah bilik berpintu korden yang terletak di antara rumahnya dan rumah tetangganya--yang katanya mantan pejuang itu. Di situlah ia memandikan anaknya. Air sisa mandi langsung meluncur ke rawa-rawa melalui lubang kecil di antara papan-panan yang dipijaknya. Lubang itu pula yang sering berperan sebagai kakus. Semua sisa pembuangan langsung ditampung dengan gemasnya oleh sang rawa-rawa yang setia menggenang di bawah tempat tidur mereka. 'Lucu'nya, bila buang air besar, tetangga mbak Susi punya metode lain. Masuk ke bilik membawa tas kresek kosong, menurunkan korden yang tersingkap, merenung beberapa lama, dan keluar menenteng tas kresek yang terlihat lebih gemuk mengembang. Berjalan sebentar ke tepi rawa, dan melemparkannya ke sana, tak peduli jatuh di bagian rawa sebelah mana, yang penting agak jauh dari rumah.

Bila gelap merayap, nyamuk pun siap bersantap. "Tidak hanya puluhan, Mas, ratusan", keluh mbak Susi sambil menunjukkan bentol-bentol yang merata di bagian kaki dan pantat anaknya. Namun di balik keluh-kesah itu, aku melihat pula senyum tawa gojekan sore hari mbak Susi bersama tetangga-tetangganya. Tanpa beban. Dan anak-anak pun bermain masak-masakan, memetik daun-daunan sekenanya dan menggepuk-gepuk pecahan genteng untuk dijadikan bumbu. Sreng-sreng suara anak-anak itu berbaur dengan bau rawa yang tertiup angin sore. Tangis mereka tak kentara, tawa mereka pecah di angkasa menutupinya. Terus begitu setiap harinya. Sambil bergelak menggendong hidup.

Sembari menendang-nendang kerikil yang aku yakini adalah saksi bisu tebalnya kulit kaki orang-orang yang hidup di situ, aku pulang. Sempat aku berpikir, orang-orang ini lebih kuat daripadaku. Diperbaja oleh apa yang bagiku bernama penderitaan. Aneh, mengapa golongan orang yang bisa sekuat itu dalam menghadapi penderitaan, justru menderita terus. Sebagai jurnalis, apa yang bisa kita tulis dan gambarkan? Apakah cukup 'hanya' dengan menyusun sebuah jurnal yang utuh mengenai hal ini? Aku tidak tahu! Aku malah menjadi takut dan merasa bersalah, bila ternyata apa yang kutemui di lapangan tidak akan muncul sebagai apa-apa. Dan aku pun akan semakin bertanya-tanya bila ternyata ada jurnalis yang mengaku sebagai humanis, namun cukup puas dengan perut kenyang, tubuh tertutup, dan anak-anaknya cukup terjamin dengan pendidikan dan pengajarannya. Kata Pram*, ini adalah sebuah bentuk humanisme luxe, seperti halnya dengan cerutu dan gincu. Humanisme seperti ini sama nilainya dengan apa yang dikenal di Indonesia dengan kata, "Kasihan mereka, tapi jangan ganggu kesenangan dan kemakmuranku!"

Aku keluar dari lingkar keruh pemukiman itu. Muncul di mulut gang dan bersiap menyeberang. Dipaksa berhenti agak lama karena harus menunggu jalan sela yang dipenuhi oleh gelindingan roda-roda truk-truk tronton dari dan ke tanjung priok yang salah satunya mungkin sedang mengangkut mobil Range Rover Sport Supercharged.

Dalam kondisi seperti inilah seabad kebangkitan dirayakan besar-besaran.


*Pramoedya Ananta Toer


p.s. :
Maxim Gorki mengatakan: The people must know thier history. Dan Iwan fals sudah menyahutnya dengan lagu: "Kontrasmu Bisu". Kita ngapain ya enaknya?

Sabtu, 26 April 2008

mojok, ndepis, maen game

Kalau mentok di pengutaraan konsep,
masih mungkinkah kita bicara detail?

Kita sering kesulitan untuk menjual pendapat, padahal di otak kita terbentang luas perkebunan ide siap panen. Konsep-konsep liputan hasil anyaman ide-ide itu lambat laun sepertinya akan membusuk bila ternyata tidak ada sarana transportasi yang bisa mengantarkan buah-sayur segar hasil panen itu ke pasar. Macet di jalan, ngantri berkilo-kilo. Kapan sampai, kadung nggak laku lagi! Bisa jadi penyebabnya hanya satu orang saja. Tidak usah jauh-jauh, produser kita sendiri MISALNYA--sebagai atasan yang setiap hari berhubungan langsung dengan kita. Syukur bila banyak di antara kawan-kawan punya atasan yang terbuka. Mampu mangakomodasi suara 'kuli' dan mengambil keputusan berbasiskan dialog. Keterbukaan ini patut diacungi jempol. Sebab untuk bisa terbuka seperti itu perlu pengorbanan, kerelaan dan keikhlasan berembug, serta kekuatan pikir untuk mempertanggungjawabkan dan mengutarakan hasil-rembug itu ke tingkat yang lebih atas, kepada bos-bos kita. Namun di samping itu, saya pun yakin ada di antara teman-teman punya atasan yang susah untuk berkompromi. Maunya menjalankan konsepnya sendiri. Sering menolak usul-usul kita tanpa alasan yang masuk akal. Mungkin segan (kalau tidak mau disebut 'malu') bila harus menerima konsep anak buahnya sebagai masterplan. Sampai-sampai kita sering tidak habis pikir dibuatnya. Atau bahkan ada di antara kita yang mungkin sempat terbengong-bengong menyaksikan eksekusi dari konsepnya yang sangat-sangat tidak matang di lapangan, namun ia tetap saja terlihat PD dan terus-menerus menampik alternatif-alternatif konsep yang lain. Terutama dari anak buahnya sendiri.

Bukan maksud merendahkan konsep-konsep atasan kita, namun kita tidak seharusnya mengorbankan hak bicara kita hanya untuk kemenangan orang-orang yang tidak kompromistis. Arogan. Tidak sehat itu namanya, bukan? Harus diperiksakan, kalau perlu di-opname sampai eling maneh. Orang-orang seperti ini, kata Cak Nun, sebenarnya adalah orang-orang yang perlu dikasihani. hehehe... mereka berlaku seperti itu kadang hanya karena supaya mereka tetap diakui. Diakui sebagai atasan dan dimengerti kalau dia punya wewenang. Walau sebenarnya tidak perlu sampai sebegitunya cara ia menunjukkan wewenangnya, kita pun sebagai orang yang sadar dan waras sewajarnya juga sudah mengerti kalau seorang atasan itu punya wewenang. Mereka melakukan hal itu karena mereka butuh kepercayaan diri bahwa mereka kuat. Dan hanya orang yang tidak aman yang berusaha untuk terus menekan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang berhasil ditekannya tidak mampu lagi membuat dirinya tidak aman. Namun apakah orang-orang seperti ini yang malah semakin mendorong kita untuk perlahan-lahan menciptakan budaya tanding? Hek2... Kalau iya, sah-kah kita berterima kasih kepada mereka? Halaah...

Saya yakin, ada bercokol pribadi-pribadi hebat di antara kita. Sadarkah kawan-kawan, kalau pribadi itu bukan tidak mungkin adalah kawan-kawan sendiri? Kamu! Bukan tidak mungkin mereka menekan kawan-kawan supaya kehebatan kawan-kawan tidak terlihat oleh orang lain dan semakin tidak bisa tumbuh? Mereka memanfaatkan kawan-kawan habis-habisan untuk membuat kawan-kawan lupa dan tidak sempat mengolah kebun ide kawan-kawan sendiri? Sehingga yang terjadi adalah saat kita pulang menemui kebun ide kita, kita sedang didera kelelahan yang amat sangat. Dan ketika kita baru akan memulai mengambil cangkul, kita sudah tertidur... Nestapa...

Berhadapan dengan orang semacam itu, rasanya bicara pun jadi susah, apalagi mengungkapkan konsep. Kaya' baru ngomong sama tebing. Suara kita kembali lagi ke kita. Sedang sang tebing masih berdiri angkuh melihat ke bawah, melihat ke kita yang kecil berdiri merana di ujung jempol kakinya--yang di dekat kukunya tumbuh jarang-jarang rambut yang lucu menggelikan itu. Bila konsep kita mentok, masih bisakah kita menelusup sampai ke detail? Kalau buat campers, ya detail pengambilan gambar misalnya. Mendulang sudut-sudut pandang kamera yang sedikit banyak mendukung keberlangsungan konsep (alternatif) kita, untuk mencoba keluar dari koridor lempeng atasan. Cabut bulu jempol kakinya, niscaya kumbakarna pun akan bangun.

Apakah kawan-kawan tidak terganggu dengan seruan: Kalau ada yang merasa 'belum cukup umur' untuk bicara, ya tidak usah bicara dulu! Belum Waktunya! (Menurut kawan-kawan apakah perasaan seperti ini perlu kita suburkan? hehehe... retorik ketoke...Apakah hal itu malah tidak mengecilkan arti dari keberadaan kita sendiri sebagai makhluk yang eksis?). "Kalau takut atau segan, itu lumrah. Sebab kita masih precil di sini", kata sebagian orang. "Manut-manut saja dulu. Konsep biar atasan yang memikirkan. Kita mah yang teknis-teknis saja", tambah sebagian orang itu. Betulkah begitu?

Usul saya, kalau kita masih merasa sebagai orang yang punya hak bebas, kalau memang berat ongkos di pengutaraan konsep, bicaralah 'diam-diam' dengan gambar di lapangan. Kalau mentok dengan perang tatap muka, ya gerilya--mencontek pangeran Diponegoro. Kerja ekstra memang. Berlari ke sana ke mari, putar otak (Benar-benar memutarnya!), sangat butuh perpanjangan waktu dan tenaga untuk mencari framing, pengaturan warna, iris, angle, dan kontrol audio. Kalau perlu sampai serpih-serpih pilihan yang muskil sekalipun. (Kalau yang ini emang perlu sharing sajake... Lha kapan le dho sido arep kumpul ki...) Itu sangat mungkin kita lakukan, sebab kitalah yang berhubungan langsung dengan kondisi lapangan: bergelut dengan lumpur, berkubang di air bah, basah kuyup guyuran hujan, memelototi korban-korban, merekam langsung setiap cuil kata yang diucapkan narasumber, dan mendengar dengan jelas degup jantung mereka...Bukankah sungguh sayang bila momen-momen itu tak dapat terrangkaikan menjadi sebuah karya yang bagus-ideal (yah...setidaknya menurut kita) dan menjadi bahan eksploitasi konsep yang amburadul? Sayang bukan kepalang...lang...lang...lang....

Di lapangan, kita pun akan menjadi semakin geregetan bila kita jadi sasaran tembak langsung arogansi itu sampai ke hal-hal teknis. Bahkan ia selalu menguntit pekerjaan kita sampai seperti bayangan kita sendiri menguntit kita. Dengan begitu ia semakin leluasa untuk membombardir kita dengan perintah ini-itu. "Ambil gambar dari sini, jadikan bunga itu latar depan!", katanya dengan suara bulat, "atau dari sana... kamu lihat bukit itu 'kan? Ya, kamu naik ke sana... pakai tripod!", tambahnya bak sedang bicara dengan robot. Profesor Agasha pun mungkin tidak akan bicara begitu pada makhluk-makhluk rakitannya. Dan yang lebih membuat kita dongkol adalah apa yang disuruhkannya itu sebenarnya sudah terpikir oleh kita sebelumnya. Hehehe. nggondhuk selangit rasanya! Kalau sudah intervensi sampai ke level ini, maka kita harus mencurinya melalui pencarian detail di balik detail, seperti layaknya seorang jurnalis asli yang dituntut untuk selalu dapat menguak story behind the real story).

Capek membaca celotehan seperti ini?
Mendhingan mojok, ndepis, maen game.

-- .
bak kopi pekat toraja bagiku
hal-hal ini kututurkan
untuk menjaga mataku sendiri tetap terbuka
sampai kokok ayam pertama
mengajak hari untuk segera bangun dan berlari...
banter le mlayu koyo dioyak asu...
-- .

Jumat, 25 April 2008

ada ada saja

ada yang murung karena paham peta kesehariannya
ada yang bahagia karena tidak tahu

ada yang gundah karena selalu ingat keADAan-nya
ada yang bahagia karena lupa
ada yang sangat bahagia karena lupa telah melupakan

ada yang tidak tenang dalam sadar
ada yang terpulaskan ketidaksadaran

ada yang resah karena mengapung di lumpur banal
ada yang bersuka cita karena tenggelam dalam hiruk-pikuk, menyatu padu dengan haha-hihi. bersilaturahmi dengan gelak-canda, bercampur-larut dalam kerumunan, dan ketika ditanya: "Siapa namamu?", hanya bisa menjawab--setelah sekian detik: "Aduh... saya lupa!"

ada yang ingin bertani dan mati di Cuba
ada yang ingin terus hidup dalam kegamangan tersamar

ada yang menangis di zanzibar
ada yang ingin memeluknya

ada yang bercerita tentang diogenes
ada yang diam mendengarkan, termangu
ada yang diam-diam berbisik, "Ah, dia ada-ada saja."

ada yang seperti aku
ada yang seperti kamu
ada yang biasa-biasa saja seakan tak terjadi apa-apa

ada yang berlagak
ada yang memaksa diri untuk menjadi seperti apa ADAnya
tetapi tetap tidak bisa...

balada campers* nanggung

-dilematis paradoksal-

ketika aku mulai membuka mata, semar ada...

kerja yang kita lakukan sehari-hari, sesi kejenuhannya datang pasti. pasti tapi tak tahu kapan. kehadirannya tak menentu. salah satu sebab umumnya bisa jadi adalah perasaan bahwa pekerjaan yang kita lakukan sekarang ini tidak sesuai (baca: ora pas atau lebih ekstrem lagi 'di bawah') kemampuan kita. seharusnya kita bisa melakukan sesuatu yang lebih besar--lebih cocok sebagai praktik idealisme kita--daripada ini. apalagi hampir setiap hari, waktu dan tenaga kita kita paksa untuk kita kuras. hingga kadang-kadang sewaktu kita baru saja memulai untuk mengisinya lagi, kita harus segera mengurasnya kembali. belum lagi selesai, masih ditambah celetukan-celetukan yang menyela: 'hei! kamu salah mengurasnya. bego!'. bersamaan dengan itu sering teringat pula 'besarnya' upah untuk bolak-balik mengurasnya. capek deh...! kondisi ini membuat pekerjaan kita beralih dari pondasi akal kepada yang empunya hati, perasaan. ambil contoh saja perasaan seorang campers yang berkata demikian ke arah celetukan-celetukan tadi : "oh ternyata asprod itu kerjanya 'cuma' begitu, saya mah bisa. lebih baik malah". perasaan ini begitu membuncah, tertiup angin, terbang dan lupalah ia pada daratan. tapi karena terbayang selama 1-3 tahun ke depan masih saja akan menjadi campers, terbantinglah ia pada luasnya daratan yang penuh comberan, kerikil dan tahi kuda. sejurus itu pula datanglah sang jenuh. tertawa meringis, mengejek sambil duduk ongkang-ongkang minum kopi.

sebenarnya aku tidak terlalu paham, batas kesombongan dan percaya diri (pd) setipis apa. jadi aku juga kurang mengerti, contoh tadi termasuk kesombongan atau kepercayaan diri. jenuh karena sombong atau jenuh karena pd. jadi seperti tidak ada bedanya, sebab akhirnya tiba pula pada sesi jenuh yang sama. bila ini dirasakan bermalam-malam, dan semakin larut, pindah tempat kerja adalah pilihan yang masuk akal. tentunya setelah sang campers sendiri menyadari bahwa 1-3 tahun itu sangat susah untuk dibuat seperti pop mie. namun tidak mudah juga melepaskan pekerjaan yang sekarang begitu saja. sebab belum tentu ada perusahaan lain yang mau menerimanya. dan karena belum ada pilihan lain itulah, sang campers harus tetap 'menyerahkan diri' pada apa yang biasa disebut sebagai kejahatan korporasi, baik sebagai korban atau pelaku. mau pindah belum ada yang menampung, mau stay jenuh merundung. mau berontak takut dipecat, takut kehilangan status sebagai pekerja. dan pasti sungguh malas bila dikatakan sebagai penganggur, terlebih bagi yang sudah punya calon mertua. bisa dipecat dua kali nanti. maka pecahlah jagung kejenuhan itu menjadi pop corn dilema.

kulihat ia samar-samar...

dilema ini lebih sering pasang daripada surut. letupan batin bisa saja semakin menjadi-jadi bila teringat masa kejayaan waktu SMA atau kuliah dulu. masa jaya menjadi seorang pemuda yang bisa berteriak lantang, congkak, seolah-olah bisa merobohkan dinding sekolah buatan belanda yang tebal-kokoh; meradang dan menerjang barisan satpam kampus; menyeruduk dan menyeruak barikade polisi; dan meninju kebijakan yang dianggap bodoh sambil sekali-kali mengumpat lain-lain para penguasa. masa jaya sebagai orang bebas yang terus dan terus berlari-lompat menuju cakrawala sambil menggenggam jala niat dan semangat merengkuh dan memeluk kaki langit... beteriak uaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! ...dan robohlah semua-mua yang ada di sekitar. rontok mendengar teriak penuh dendam itu. puas dan pulang dengan busungan dada, naikan dagu, sombong, mabuk di persimpangan, merasa tak terkalahkan... sampai tidur pun mimpi bertemu superman, batman, megaloman dan tentu saja robin hood. bangun pagi dan optimistis berlagu :

kubuka jendela, sapa angin pagi...
ringan kau melangkah, songsong hidup ini...
--"condet" by iwan fals--

tapi seakan hampir terlupa kalau roda nasib memang berputar, sekarang kaget tak bisa menemukan tempat untuk berteriak, berlari dan melompat. shock! stress karena lag yang tak terduga. yang ia temui hanya tembok-dinding batu yang tak disangka-sangka ternyata buatan tanah air (walaupun mungkin ada sedikit banyak pengaruh militerisme paman sam). penguasa manajemen yang kaku. sistem yang keras dan mengungkung. ketat. susah berkompromi. sulit dijebol, pun dengan linggis pengetahuan dan pengalaman. seberapa besar dan kuatkah linggismu kawan? ditantangnya kita selalu, sehari-hari... dan sang campers pun frustrasi... i'm not belong here... senandungnya suatu kali di pojok pantry. dan kalau tidak di pojokan pantry itu, di teras di salah satu lantai gedung kantornya ia menghisap kesesakan dan mengepulkan asap kejenuhan, membakar dilema yang baranya tak kunjung bisa mati. sambil sesekali melihat jam tangannya, ingin segera mengerti kapan waktu pulang ke kos. berjalan gontai bak kuli jalan kala senja kalah perang. menuju kamar 2x3-nya. pulas dan mimpi digigit ular... bangun pagi dan pesimistis berlagu :

kubuka jendela, maki angin pagi...
berat kau melangkah, 'tuk dapatkan kesempatan...
--"condet" by iwan fals--

kuseka mataku, mencoba white balance, masih samar-samar juga ia...

merasa selalu kalah dengan keadaan tidaklah membangun jiwa dan badan. dan orang yang tertindas biasanya mempunyai dua kecenderungan sikap, kalau enggak 'nglokro' (baca: menyerah), ya memberontak. sang campers dekat dengan kecenderungan yang kedua, tentu saja dengan caranya sendiri. namun bila obyek yang akan dijadikan sasaran berontak kuatnya minta ampun, maka pastilah akan terjadi benturan-benturan yang dahsyat. terlebih bila jenuh sudah mengalir ke seluruh tubuh melalui arteri dendam. mulailah sang campers berani membantah apa yang diutarakan oleh si asprod dan semakin pandai ngibul, walau dengan bungkus canda. mulai mencuri-curi waktu dan korupsi lain-lain. korupsi di sini dilakukan bisa dengan sepenuh hati bisa pula karena tidak sanggup menolak. sang campers berpikir, bila ia menolak pastilah ia sendiri yang nantinya akan ditolak oleh komunitas yang telah melanggengkannya. menutup rapat-rapat sejak lama. 'pahlawan kesiangan' adalah salah satu julukan yang pedas-ganas menerkam jantung kejujuran. maka sang campers menjatuhkan pilihan pada sikap: 'ngikut aja'. asal diam tidak bakal bergejolak. cuma seribu satu kesalahan yang bisa menguaknya. "Ully, engkau memberikan secercah harapan", gumam sang campers. di kantor ini, berbohong bisa didedikasikan untuk 'kebaikan' banyak orang, 'kehidupan' banyak kepala, dan 'detak' banyak jantung. ooohhh.....jagad dewa batara...olak-aliking ndoya neng ngareping mata... (jungkir baliknya dunia di depan mata)... orang jawa menyebutnya sebagai zaman edan. zaman yang muncul dalam tahap-tahap sejarah tertentu dan akan berakhir bila seorang ratu adil muncul lagi untuk mengembalikan keadaan tata tentrem kerta raharja. ratu adil? hehehe...waiting for godot itu namanya... godot, ratu adil, atau pahlawan kesiangan beda-beda tipis mungkin. [nah, mengenai godot ini, sang campers sebetulnya pernah punya pengalaman. suatu malam ia bermimpi maen teater panggung. saat sesi monolog, dari sudut atas sebelah kiri panggung ia dibisiki oleh suara berat yang tak dikenalnya. lirih suara itu bertutur: "jemput saja si godot itu, jangan ditunggu". dan ketika suara itu fade out, ia baru sadar bahwa di tempat duduk penonton tidak ada satu orang pun terlihat]. dan waktu bangun dan berangkat kerja lagi, sang campers masih saja bisa dipaksa untuk seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa, selain 'ngikut aja' tadi. tapi ia masih bisa berpikir positif (hahaha...taek!): semuanya pasti akan terkuak sendiri. benturan tidak hanya antara bawahan-atasan, tetapi juga dengan rekan kerja, sang campers dengan reporternya, dengan driver pun pernah, dll dll. nah, dalam fase ini perlahan-lahan terbangunlah apa yang dinamakan dengan babak 'gara-gara'. (baca: seperti membaca goro pada goro batara sakti). babak dimana ketegangan demi ketegangan silih berganti. bahkan bisa saja ketegangan itu tak putus-putusnya sepanjang hari. kamera jadi tidak fokus.

ketika aku bercermin, kulihat ia semakin jelas...

dalam planet pewayangan, jejer gara-gara adalah sesi di mana terjadi ketegangan yang dialami oleh tokoh utama lakon yang bersangkutan [sebut saja Arjuna]. biasanya dia sedang berada dalam sebuah perjalanan melintasi hutan yang penuh bahaya. Batin dan raganya terasa tegang. Ketegangan-ketegangan itu tercermin dalam alam: bumi yang bergoyang, gunung meletup-letup, dan pasang air teluk yang merendam hati dan semakin tinggi bercampur dengan isak tangis dan keringat para penghuni alam. ketegangan bisa memuncak bila arjuna bertemu dengan musuh-musuhnya [bala kurawa]. saat itu terjadilah pertempuran yang hebat dan menentukan (perang kembang). di gedung berlantai sembilan ini, sang campers pun mengalami ketegangan yang hampir sama, denyut nadinya sering mengeras dan semakin tak beraturan. bila sedang down, pikirannya melayang dan sekali waktu nyangkut pada wacana terbuka pindah kerja yang ia rasa semakin-lama-(justru)semakin dinamis. di tahap ini, ki dalang berusaha keras untuk menunjukkan segala ketrampilan teknik dan kelincahan tuturnya untuk mementaskan sikap tenang arjuna dalam menghadapi kekuatan-kekuatan kasar dan serangan-serangan liar lawan-lawannya. tapi arjuna tidak bisa tenang dalam dirinya sendiri. ketenangan yang ia ciptakan tidak bisa setenang bila ia ditemani oleh abdinya. hambanya yang setia. hamba yang berbudi luhur walau tidak seganteng dan seseksi dia. tapi kebijakannya melampaui jernihnya gemericik air bukit, abadinya api merapen, suburnya tanah perawan di pelosok dalam, dan sehatnya udara khayangan. dialah semar. kakak batara guru. guru jawa asli yang paling berkuasa. ia adalah paradoks itu sendiri. pembantu yang dewa. dewa yang pembantu. bukan sembarang pembantu. dialah pembantu batin. batin arjuna. tempat konsultasi yang paling dicari. kalau tidak ada semar, arjuna bakal tersesat di hutan tadi. dan semar tahu itu. maka ia sering muncul saat gara-gara, saat ketegangan hampir mencapai klimaksnya. saat sang arjuna menoleh kanan-kiri, bingung mencari pegangan, merindukan pengayoman. saat itulah semar manggung berbalut kesederhanaan, berhiaskan aneka ria canda penawar gundah gulana sang arjuna. apabila semar, wayang yang tak terselami, bijaksana, sederhana, merakyat, baik hati, dan lucu itu muncul, maka arjuna pun merasa aman dari segala bahaya. tujuannya di balik hutan sana rasanya sudah semakin dekat saja. badannya yang letih berangsur pulih, busur panahnya pun menegang siap mengantarkan anak panahnya ke dada musuh. ia seakan baru saja menemukan jati dirinya kembali. semar memang pandai membesarkan hati. sehingga arjuna pun beroleh bekal niat baru, pola pikir yang diperbarui. mongkok hatinya, gembira ia, walau di seberang sana lawan-lawannya semakin keras berpikir, menyusun strategi untuk tak henti-hentinya memojokkannya. di hadapan arjuna semar muncul sebagai dirinya.

namun di hadapan sang campers, ia berwujud lain. sebagian dirinya manunggal dengan ibu dewi. seorang wanita tegar yang penuh semangat. sang campers menemuinya di padang panjang, bukittinggi, sumatera barat. pagi hari, otot semar berayun bersama tangan lincah ibu dewi, menyapu halaman dan kantoran sebuah universitas yang tidak bisa di bilang sempit. siangnya mobile ke sana kemari bersama deru motor wanita berjilbab itu yang sesekali mangkal di pasar dan sudut-sudut gang yang terlihat orang. supaya orang-orang yang butuh pulang atau bepergian bisa dengan mudah menemukannya dan berbisik: 'antar saya ke rumah ya uni, biasa aja ya, 5ribu'. dan bu dewi pun meluncurkan sepeda motornya menuju tempat yang dituju sang pembonceng. sejak ditinggal suaminya--dengan alasan yang kurang memadai bagi dirinya, ia harus mencukupi kebutuhan hidupnya bersama dua orang anaknya yang masih kecil. dan sekarang ditambah kedua orang tuanya yang belum lama ini pulang kampung dan memilih tinggal serumah dengannya. lengkap sudah 'beban' hidupnya. waktu meminta untuk mengulang beberapa gerakan, sang campers pun melihat ketulusan yang tiada tara di mata bu dewi. luar biasa. teriaknya tidak kalah dengan tukang ojek pria. "ojek uda... mari uni saya antar!", teriaknya di antara kerumunan orang yang baru saja keluar dari pasar. sungguh mengagumkan orang ini. bisik sang campers dalam hati. dan ketika sang campers mengambil close up mukanya, ia sedikit terharu. tidak ada rasa malu dan canggung berkumpul bersama pengojek pria lainnya. di sana, ia melihat bayangan semar. dari wajahnya yang tak ber make-up itu, terpancar integritas yang tinggi. kejujuran pada kehidupan. ia menghidupi pekerjaan itu. dan pekerjaan itu menghidupinya. sejenak sang campers terperanjat. 'apa aku sudah menghidupi pekerjaanku?', ia tercekat. apa yang sudah aku berikan padanya? integritas? totalitas? atau hanya sekedar rutinitas? formalitas? atau batu cadas (untuk segera melompat ke pekerjaan yang lain)? ia pun tertunduk, menekuri kamera PD-170 nya yang diam... semar berbicara lewat hal keseharian. ia membesarkan hati dengan mewujud pada ketulusan seorang dewi yang mengukir hidup dengan sapu dan motor kreditannya, menghidupi banyak raga dan jiwa. apa yang bisa aku berikan dengan kameraku?... sepulangnya ke hiruk pikuk ibu kota, ia bertemu lagi dengan dinding tebal yang mokal bisa dirobohkan hanya dengan sejengkal integritas. namun bermodal hal yang cuma sejengkal itu, ia akan segera melawan. "dengan apa?", tanya hatinya. "BERKARYA!", jawab nalarnya. ya... menggambar dengan tulisan, menulis dengan gambar...

perlahan semar menepuk pundakku. aku agak canggung untuk menoleh. ia tahu itu. lalu sepintas aku mendengar suara lirih: aku ada di mana-mana, temuilah...


*campers: camera person

Selasa, 22 April 2008

koyak

Apa yang bisa kuperbuat untukmu, kekasihku
sementara aku sendiri pontang-panting mencari jati diriku?
Mungkinkah kita akan selalu sanggup 'tuk saling memahami
sementara dunia seakan gonta-ganti wajah?

Ada kalanya kuberanikan diri terjun ke ngarai
hanya ingin memungut setangkai romantisme
untuk kuselipkan di antara rambut dan telingamu.
Ada kalanya kau tetap mantap bertahan
walau aku semakin tak terpahami.

Waktu mengalir deras menjebol tanggul kehampaan dan kaganjilan hubungan kita,
mengharuskan kita untuk selalu membuatnya menjadi padat dan genap.

"Bangun dan bercahayalah!", kataku sembari terus berusaha untuk menguapkan kantuk.
"Tidurlah selagi lelah menyelamiku!", saranku dalam keletihan tertahan.

Aku tidak hanya akan mendendangkan lagu,
tetapi juga memujikan lirik kesukaanmu secukupnya.

Namun sayang beribu maaf bila nanti
aku lebih sering tidak sempat kalau tidak kelupaan.
Sungguh heran aku menatap keseluruhanmu
tatkala kau mengajakku untuk terus berlari,
sementara aku masih saja sibuk menggali sumur di keringnya bukit kapur.

Ciutlah sang maha cheetah yang sedang dirundung lapar
saat melihatmu gesit berlari.
Hilanglah keberaniannya untuk menandingimu
berkejaran di tanah lapang berimbun ilalang.

Awan hitam menggelayut di haru wajahmu
kau singkapkan dengan sopan dan penuh kesederhanaan.

Aku miskin keyakinan, labil tak berbentuk.
Kau bergelimang kesabaran,
tak pernah lewat menangkap daun-daun
yang luruh dari dahan kekeringan setiaku.

Kau tak terbendung,
tak terukur...
dan aku hanya bisa berlindung,
tepekur...