Selasa, 18 November 2008

Kematian Itu

oleh: lukas deni setiawan

Kata orang, bila burung gagak berkoak-koak di atas sebuah rumah, maka sebentar lagi akan ada kematian di rumah itu.

Tidak ada tanda-tanda seperti itu di rumah ini, namun kematian tetap saja hadir (bahkan tanpa prolog). Serentak segala aktivitas pun tertahan. Tangan yang baru memegang gergaji berhenti maju-mundur. Jari-jari yang menari di atas keyboard memutus ritmenya. Kaki berotot yang sedang tergesa melangkah menahan bakul direm seketika. Pikiran rumit yang sedang berusaha mengembangkan naskah drama pun dipaksa berbelok mematahkan alurnya semula. Dapur mengurangi asapnya.

Angin tetap semilir membelai daun-daun yang mekar di tanah di mana para pohon suka bermusyawarah. Kalem ranting-ranting itu menari, tak mampu menahan udara dingin langit yang tembus hingga menerobos pintu dan jendela para tetangga, membawa suasana menjadi semakin haru. Mengiringi langkah para pelayat satu-satu menuju rumah persemayaman itu. Dan keluarga menunggu, tissue dan sapu tangan bersatu membendung air mata yang tak jua habis jatuh sejak pertama kali mereka berucap Inna lillahi wa inna ilahi raji'un. Emosi terasa diperas, namun tenaga terus saja ada untuk menerima jabat duka kolega dan tetangga.

Malampuai malam, mata yang sembab itu terus saja mencoba mencari arti semuanya. Melihat jauh menembus dinding rumah duka itu. Tembus jauh ke awang-awang dan harus tersentak kembali fokus pada para tamu yang menggugah lamunan.

Di luar rumah, mengembanglah sejarah. Biografi sang jenazah di masa kecil, muda dan akhir penantian hidupnya muncul kembali dalam bentuk cerita-cerita pendek para pelayat. Mulut-mulut itu saling bertutur, menceritakan hikayat sang jenazah menurut versi masing-masing, seingat mereka. Berbaur mengurangi kesedihan. Menghibur walau disambut dengan tawa dan senyum kecil seadanya. Dan mereka pun datang dan pergi seperti orang-orang di supermarket. Kesedihan pun menuju titik minimumnya. Senyum pun mulai mendapat tempatnya. Keluarga duka bisa menahan emosi dukanya. Sedih mulai tidak terasa, sebab penghiburan datang dari mana-mana.

Burung tetap pada perannya. Memberi nyanyian pada hari-hari. Berkacak pinggang, saling menggoda dan terbang pindah ke ranting pohon belakang rumah memberi suara latar pada mbak-mbak yang sedang menyatu dengan masakan mereka di bawahnya. Lebur dalam guyubnya solidaritas penderitaan yang lahir melalui rasa haru terhadap kesedihan keluarga duka. Anak ke-10, matanya sembab. Mondar-mandir menemui para tamu. Berusaha melupakan kesedihannya sendiri. Namun tetap tak bisa lupa pada kesedihan ibunya. Sang ibu pun bersimpuh, menemani jenazah yang sudah kaku tertutup kain membujur. Pikirannya tersumbat perasaannya.

Di manakah keindahan di saat seperti ini?

Ketika emosi mereda dan suasana semakin menjadi biasa, anak ke-14 datang dari luar kota. Meledaklah tangis itu kembali. Membuyarkan cerita dan dialog ringan yang sudah mulai enak itu. Ketegangan mengeluarkan aromanya. Lalu reda lagi. Dan begitu seterusnya berganti-gantian rasa sedih dan tenang itu sahut-menyahut hingga sampai liang lahat. Dan pecah lagi kesedihan itu, lalu seperti bersama-sama, penghiburan itu pun ber-choir mencapai puncaknya pada bit yang tertinggi.

Kemudian semua pulang dan senyap. Rasanya jam di rumah selalu menunjukkan pukul dua pagi. Hening. Bening. Dan kosong. Hinggaplah rasa itu untuk kesekian kalinya. Kali ini pada kesendirian yang benar-benar. Seluruh panca indera mengecp rasa yang sama, kesedihan itu.

"Ibu, Engkau tidak apa-apa?", tanya sang anak.

"Hidup asalnya sendiri, jadi kalau kembali sendiri, ya itulah inti hidup. Kalau sedih tak diajarkan, jadi ya sangat biasa. Menjadi luar biasa karena ditinggalkan yang dicintai. Jadi sedihnya luar biasa", kata temanku yang baru saja kehilangan bapaknya beberapa hari yang lalu.

Burung gagak itu bertengger di salah satu pohon yang ditanam sang bapak sewaktu kecil, ia tercekat.

Tidak ada komentar: