Sabtu, 09 Agustus 2008

Berkebun 'Ku di Cakrawala

Berkebun 'ku di cakrawala. Kujejak tanahnya, kucangkul kesepian. Kupijak lumpurnya, kubajak kesendirian. Kubolak-balik lagi tanahnya, kutemukan cacing-cacing. Meringis. Meringis? Oh tidak, mereka merintih. Oh iya, mereka merintih minta ampun. Tetapi tak kuampuni. Hahaha. Egoisku sedang meradang. Kulanjutkan lagi cangkulanku, semakin banyak saja cacingnya. Tetapi tetap tak goyah imanku, tak tersentil belas kasihku. Sampai cangkulku terantuk tanah keras. Selintas jadi ingat kepala Hitler. Kuberhenti sak udud-an. Tak lama, lampu di kepalaku memberi sinyal. Dengan cekatan kurogoh hatiku. Mencangkullah sekarang aku dengannya. Tak mempan juga ternyata. Sakit sekali rasanya malah. Kucangkul lagi petak sebelahnya, tak mempan lagi. Kumelompat ke petak lainnya lagi. Random sajalah pikirku setengah putus asa. Pada petak yang entah keberapa, patah cangkulku di situ. Aku tertawa sendiri. Lalu diam. Dan tersenyum simpul. Lalu diam lagi. Perlahan kulirik cangkulku yang patah itu, kubelai dan kurekatkan lagi lukanya dengan semangat. Hah, lanjut! Keras dan semakin hebat saja aku mencangkul ke sana ke mari. Bag bug bag bug. Bag bug bag bug. Terus begitu tanpa sempat kulirik sekeliling. Nihil!

Dan pada satu titik, aku berangsur undur. Ngaso dan berniat retreat. Ada masalahkah dengan cangkulku? Adakah yang salah dengan caraku mencangkul? Undurlah undur, pikirku.

Maka gemuruh suara cangkulan itu pun mereda. Aku mengambil jarak, menjauh. Menunduk dan bersimpuh. Kugenggam cangkulku erat, kudekatkan ke dadaku. Kumasukkan lagi ke cangkang hatiku perlahan. Pelan. Kurasakan. Lalu aku bersandar. Kubuang pandang jauh, kutangkap horizon itu dengan retinaku. Tak kuasa dia menahan keindahan lembayungnya sendiri. Senja yang sempurna. Senja yang tak lama. Lembayung fade out. Lampu-lampu kota fade in. Lalu mengalirlah bayu masa lalu, mengusap peluh dan kusamku. Berpijar pula kehebatan masa silam, indah kemilau menyaingi lampu-lampu kota itu. Sungguh, romantisme kadang menyenangkan, kenangan acapkali menenangkan. Tetapi ... mak jenggirat ... bangsat keparat ... kudibangunkan nyamuk-nyamuk yang tak pernah nguntal huruf dan angka, yang secara teaterikal malah bergaya demo menancapkan baliho raksasa tepat di depan mataku yang semakin sayu. Lantang seruan di baliho itu berteriak: "Masa depan lebih mendesak!" ... dan echo di mana-mana ... echo di mana-mana ... di mana-mana ... Lalu lirih dan senyap.

Subuh merekah, seiring dengan tersulutnya kerinduanku pada kebun di cakrawala.

"Jatuh cinta, Kapiten?"
"Patah hati, Bego!"