Sabtu, 26 April 2008

mojok, ndepis, maen game

Kalau mentok di pengutaraan konsep,
masih mungkinkah kita bicara detail?

Kita sering kesulitan untuk menjual pendapat, padahal di otak kita terbentang luas perkebunan ide siap panen. Konsep-konsep liputan hasil anyaman ide-ide itu lambat laun sepertinya akan membusuk bila ternyata tidak ada sarana transportasi yang bisa mengantarkan buah-sayur segar hasil panen itu ke pasar. Macet di jalan, ngantri berkilo-kilo. Kapan sampai, kadung nggak laku lagi! Bisa jadi penyebabnya hanya satu orang saja. Tidak usah jauh-jauh, produser kita sendiri MISALNYA--sebagai atasan yang setiap hari berhubungan langsung dengan kita. Syukur bila banyak di antara kawan-kawan punya atasan yang terbuka. Mampu mangakomodasi suara 'kuli' dan mengambil keputusan berbasiskan dialog. Keterbukaan ini patut diacungi jempol. Sebab untuk bisa terbuka seperti itu perlu pengorbanan, kerelaan dan keikhlasan berembug, serta kekuatan pikir untuk mempertanggungjawabkan dan mengutarakan hasil-rembug itu ke tingkat yang lebih atas, kepada bos-bos kita. Namun di samping itu, saya pun yakin ada di antara teman-teman punya atasan yang susah untuk berkompromi. Maunya menjalankan konsepnya sendiri. Sering menolak usul-usul kita tanpa alasan yang masuk akal. Mungkin segan (kalau tidak mau disebut 'malu') bila harus menerima konsep anak buahnya sebagai masterplan. Sampai-sampai kita sering tidak habis pikir dibuatnya. Atau bahkan ada di antara kita yang mungkin sempat terbengong-bengong menyaksikan eksekusi dari konsepnya yang sangat-sangat tidak matang di lapangan, namun ia tetap saja terlihat PD dan terus-menerus menampik alternatif-alternatif konsep yang lain. Terutama dari anak buahnya sendiri.

Bukan maksud merendahkan konsep-konsep atasan kita, namun kita tidak seharusnya mengorbankan hak bicara kita hanya untuk kemenangan orang-orang yang tidak kompromistis. Arogan. Tidak sehat itu namanya, bukan? Harus diperiksakan, kalau perlu di-opname sampai eling maneh. Orang-orang seperti ini, kata Cak Nun, sebenarnya adalah orang-orang yang perlu dikasihani. hehehe... mereka berlaku seperti itu kadang hanya karena supaya mereka tetap diakui. Diakui sebagai atasan dan dimengerti kalau dia punya wewenang. Walau sebenarnya tidak perlu sampai sebegitunya cara ia menunjukkan wewenangnya, kita pun sebagai orang yang sadar dan waras sewajarnya juga sudah mengerti kalau seorang atasan itu punya wewenang. Mereka melakukan hal itu karena mereka butuh kepercayaan diri bahwa mereka kuat. Dan hanya orang yang tidak aman yang berusaha untuk terus menekan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang berhasil ditekannya tidak mampu lagi membuat dirinya tidak aman. Namun apakah orang-orang seperti ini yang malah semakin mendorong kita untuk perlahan-lahan menciptakan budaya tanding? Hek2... Kalau iya, sah-kah kita berterima kasih kepada mereka? Halaah...

Saya yakin, ada bercokol pribadi-pribadi hebat di antara kita. Sadarkah kawan-kawan, kalau pribadi itu bukan tidak mungkin adalah kawan-kawan sendiri? Kamu! Bukan tidak mungkin mereka menekan kawan-kawan supaya kehebatan kawan-kawan tidak terlihat oleh orang lain dan semakin tidak bisa tumbuh? Mereka memanfaatkan kawan-kawan habis-habisan untuk membuat kawan-kawan lupa dan tidak sempat mengolah kebun ide kawan-kawan sendiri? Sehingga yang terjadi adalah saat kita pulang menemui kebun ide kita, kita sedang didera kelelahan yang amat sangat. Dan ketika kita baru akan memulai mengambil cangkul, kita sudah tertidur... Nestapa...

Berhadapan dengan orang semacam itu, rasanya bicara pun jadi susah, apalagi mengungkapkan konsep. Kaya' baru ngomong sama tebing. Suara kita kembali lagi ke kita. Sedang sang tebing masih berdiri angkuh melihat ke bawah, melihat ke kita yang kecil berdiri merana di ujung jempol kakinya--yang di dekat kukunya tumbuh jarang-jarang rambut yang lucu menggelikan itu. Bila konsep kita mentok, masih bisakah kita menelusup sampai ke detail? Kalau buat campers, ya detail pengambilan gambar misalnya. Mendulang sudut-sudut pandang kamera yang sedikit banyak mendukung keberlangsungan konsep (alternatif) kita, untuk mencoba keluar dari koridor lempeng atasan. Cabut bulu jempol kakinya, niscaya kumbakarna pun akan bangun.

Apakah kawan-kawan tidak terganggu dengan seruan: Kalau ada yang merasa 'belum cukup umur' untuk bicara, ya tidak usah bicara dulu! Belum Waktunya! (Menurut kawan-kawan apakah perasaan seperti ini perlu kita suburkan? hehehe... retorik ketoke...Apakah hal itu malah tidak mengecilkan arti dari keberadaan kita sendiri sebagai makhluk yang eksis?). "Kalau takut atau segan, itu lumrah. Sebab kita masih precil di sini", kata sebagian orang. "Manut-manut saja dulu. Konsep biar atasan yang memikirkan. Kita mah yang teknis-teknis saja", tambah sebagian orang itu. Betulkah begitu?

Usul saya, kalau kita masih merasa sebagai orang yang punya hak bebas, kalau memang berat ongkos di pengutaraan konsep, bicaralah 'diam-diam' dengan gambar di lapangan. Kalau mentok dengan perang tatap muka, ya gerilya--mencontek pangeran Diponegoro. Kerja ekstra memang. Berlari ke sana ke mari, putar otak (Benar-benar memutarnya!), sangat butuh perpanjangan waktu dan tenaga untuk mencari framing, pengaturan warna, iris, angle, dan kontrol audio. Kalau perlu sampai serpih-serpih pilihan yang muskil sekalipun. (Kalau yang ini emang perlu sharing sajake... Lha kapan le dho sido arep kumpul ki...) Itu sangat mungkin kita lakukan, sebab kitalah yang berhubungan langsung dengan kondisi lapangan: bergelut dengan lumpur, berkubang di air bah, basah kuyup guyuran hujan, memelototi korban-korban, merekam langsung setiap cuil kata yang diucapkan narasumber, dan mendengar dengan jelas degup jantung mereka...Bukankah sungguh sayang bila momen-momen itu tak dapat terrangkaikan menjadi sebuah karya yang bagus-ideal (yah...setidaknya menurut kita) dan menjadi bahan eksploitasi konsep yang amburadul? Sayang bukan kepalang...lang...lang...lang....

Di lapangan, kita pun akan menjadi semakin geregetan bila kita jadi sasaran tembak langsung arogansi itu sampai ke hal-hal teknis. Bahkan ia selalu menguntit pekerjaan kita sampai seperti bayangan kita sendiri menguntit kita. Dengan begitu ia semakin leluasa untuk membombardir kita dengan perintah ini-itu. "Ambil gambar dari sini, jadikan bunga itu latar depan!", katanya dengan suara bulat, "atau dari sana... kamu lihat bukit itu 'kan? Ya, kamu naik ke sana... pakai tripod!", tambahnya bak sedang bicara dengan robot. Profesor Agasha pun mungkin tidak akan bicara begitu pada makhluk-makhluk rakitannya. Dan yang lebih membuat kita dongkol adalah apa yang disuruhkannya itu sebenarnya sudah terpikir oleh kita sebelumnya. Hehehe. nggondhuk selangit rasanya! Kalau sudah intervensi sampai ke level ini, maka kita harus mencurinya melalui pencarian detail di balik detail, seperti layaknya seorang jurnalis asli yang dituntut untuk selalu dapat menguak story behind the real story).

Capek membaca celotehan seperti ini?
Mendhingan mojok, ndepis, maen game.

-- .
bak kopi pekat toraja bagiku
hal-hal ini kututurkan
untuk menjaga mataku sendiri tetap terbuka
sampai kokok ayam pertama
mengajak hari untuk segera bangun dan berlari...
banter le mlayu koyo dioyak asu...
-- .

Jumat, 25 April 2008

ada ada saja

ada yang murung karena paham peta kesehariannya
ada yang bahagia karena tidak tahu

ada yang gundah karena selalu ingat keADAan-nya
ada yang bahagia karena lupa
ada yang sangat bahagia karena lupa telah melupakan

ada yang tidak tenang dalam sadar
ada yang terpulaskan ketidaksadaran

ada yang resah karena mengapung di lumpur banal
ada yang bersuka cita karena tenggelam dalam hiruk-pikuk, menyatu padu dengan haha-hihi. bersilaturahmi dengan gelak-canda, bercampur-larut dalam kerumunan, dan ketika ditanya: "Siapa namamu?", hanya bisa menjawab--setelah sekian detik: "Aduh... saya lupa!"

ada yang ingin bertani dan mati di Cuba
ada yang ingin terus hidup dalam kegamangan tersamar

ada yang menangis di zanzibar
ada yang ingin memeluknya

ada yang bercerita tentang diogenes
ada yang diam mendengarkan, termangu
ada yang diam-diam berbisik, "Ah, dia ada-ada saja."

ada yang seperti aku
ada yang seperti kamu
ada yang biasa-biasa saja seakan tak terjadi apa-apa

ada yang berlagak
ada yang memaksa diri untuk menjadi seperti apa ADAnya
tetapi tetap tidak bisa...

balada campers* nanggung

-dilematis paradoksal-

ketika aku mulai membuka mata, semar ada...

kerja yang kita lakukan sehari-hari, sesi kejenuhannya datang pasti. pasti tapi tak tahu kapan. kehadirannya tak menentu. salah satu sebab umumnya bisa jadi adalah perasaan bahwa pekerjaan yang kita lakukan sekarang ini tidak sesuai (baca: ora pas atau lebih ekstrem lagi 'di bawah') kemampuan kita. seharusnya kita bisa melakukan sesuatu yang lebih besar--lebih cocok sebagai praktik idealisme kita--daripada ini. apalagi hampir setiap hari, waktu dan tenaga kita kita paksa untuk kita kuras. hingga kadang-kadang sewaktu kita baru saja memulai untuk mengisinya lagi, kita harus segera mengurasnya kembali. belum lagi selesai, masih ditambah celetukan-celetukan yang menyela: 'hei! kamu salah mengurasnya. bego!'. bersamaan dengan itu sering teringat pula 'besarnya' upah untuk bolak-balik mengurasnya. capek deh...! kondisi ini membuat pekerjaan kita beralih dari pondasi akal kepada yang empunya hati, perasaan. ambil contoh saja perasaan seorang campers yang berkata demikian ke arah celetukan-celetukan tadi : "oh ternyata asprod itu kerjanya 'cuma' begitu, saya mah bisa. lebih baik malah". perasaan ini begitu membuncah, tertiup angin, terbang dan lupalah ia pada daratan. tapi karena terbayang selama 1-3 tahun ke depan masih saja akan menjadi campers, terbantinglah ia pada luasnya daratan yang penuh comberan, kerikil dan tahi kuda. sejurus itu pula datanglah sang jenuh. tertawa meringis, mengejek sambil duduk ongkang-ongkang minum kopi.

sebenarnya aku tidak terlalu paham, batas kesombongan dan percaya diri (pd) setipis apa. jadi aku juga kurang mengerti, contoh tadi termasuk kesombongan atau kepercayaan diri. jenuh karena sombong atau jenuh karena pd. jadi seperti tidak ada bedanya, sebab akhirnya tiba pula pada sesi jenuh yang sama. bila ini dirasakan bermalam-malam, dan semakin larut, pindah tempat kerja adalah pilihan yang masuk akal. tentunya setelah sang campers sendiri menyadari bahwa 1-3 tahun itu sangat susah untuk dibuat seperti pop mie. namun tidak mudah juga melepaskan pekerjaan yang sekarang begitu saja. sebab belum tentu ada perusahaan lain yang mau menerimanya. dan karena belum ada pilihan lain itulah, sang campers harus tetap 'menyerahkan diri' pada apa yang biasa disebut sebagai kejahatan korporasi, baik sebagai korban atau pelaku. mau pindah belum ada yang menampung, mau stay jenuh merundung. mau berontak takut dipecat, takut kehilangan status sebagai pekerja. dan pasti sungguh malas bila dikatakan sebagai penganggur, terlebih bagi yang sudah punya calon mertua. bisa dipecat dua kali nanti. maka pecahlah jagung kejenuhan itu menjadi pop corn dilema.

kulihat ia samar-samar...

dilema ini lebih sering pasang daripada surut. letupan batin bisa saja semakin menjadi-jadi bila teringat masa kejayaan waktu SMA atau kuliah dulu. masa jaya menjadi seorang pemuda yang bisa berteriak lantang, congkak, seolah-olah bisa merobohkan dinding sekolah buatan belanda yang tebal-kokoh; meradang dan menerjang barisan satpam kampus; menyeruduk dan menyeruak barikade polisi; dan meninju kebijakan yang dianggap bodoh sambil sekali-kali mengumpat lain-lain para penguasa. masa jaya sebagai orang bebas yang terus dan terus berlari-lompat menuju cakrawala sambil menggenggam jala niat dan semangat merengkuh dan memeluk kaki langit... beteriak uaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! ...dan robohlah semua-mua yang ada di sekitar. rontok mendengar teriak penuh dendam itu. puas dan pulang dengan busungan dada, naikan dagu, sombong, mabuk di persimpangan, merasa tak terkalahkan... sampai tidur pun mimpi bertemu superman, batman, megaloman dan tentu saja robin hood. bangun pagi dan optimistis berlagu :

kubuka jendela, sapa angin pagi...
ringan kau melangkah, songsong hidup ini...
--"condet" by iwan fals--

tapi seakan hampir terlupa kalau roda nasib memang berputar, sekarang kaget tak bisa menemukan tempat untuk berteriak, berlari dan melompat. shock! stress karena lag yang tak terduga. yang ia temui hanya tembok-dinding batu yang tak disangka-sangka ternyata buatan tanah air (walaupun mungkin ada sedikit banyak pengaruh militerisme paman sam). penguasa manajemen yang kaku. sistem yang keras dan mengungkung. ketat. susah berkompromi. sulit dijebol, pun dengan linggis pengetahuan dan pengalaman. seberapa besar dan kuatkah linggismu kawan? ditantangnya kita selalu, sehari-hari... dan sang campers pun frustrasi... i'm not belong here... senandungnya suatu kali di pojok pantry. dan kalau tidak di pojokan pantry itu, di teras di salah satu lantai gedung kantornya ia menghisap kesesakan dan mengepulkan asap kejenuhan, membakar dilema yang baranya tak kunjung bisa mati. sambil sesekali melihat jam tangannya, ingin segera mengerti kapan waktu pulang ke kos. berjalan gontai bak kuli jalan kala senja kalah perang. menuju kamar 2x3-nya. pulas dan mimpi digigit ular... bangun pagi dan pesimistis berlagu :

kubuka jendela, maki angin pagi...
berat kau melangkah, 'tuk dapatkan kesempatan...
--"condet" by iwan fals--

kuseka mataku, mencoba white balance, masih samar-samar juga ia...

merasa selalu kalah dengan keadaan tidaklah membangun jiwa dan badan. dan orang yang tertindas biasanya mempunyai dua kecenderungan sikap, kalau enggak 'nglokro' (baca: menyerah), ya memberontak. sang campers dekat dengan kecenderungan yang kedua, tentu saja dengan caranya sendiri. namun bila obyek yang akan dijadikan sasaran berontak kuatnya minta ampun, maka pastilah akan terjadi benturan-benturan yang dahsyat. terlebih bila jenuh sudah mengalir ke seluruh tubuh melalui arteri dendam. mulailah sang campers berani membantah apa yang diutarakan oleh si asprod dan semakin pandai ngibul, walau dengan bungkus canda. mulai mencuri-curi waktu dan korupsi lain-lain. korupsi di sini dilakukan bisa dengan sepenuh hati bisa pula karena tidak sanggup menolak. sang campers berpikir, bila ia menolak pastilah ia sendiri yang nantinya akan ditolak oleh komunitas yang telah melanggengkannya. menutup rapat-rapat sejak lama. 'pahlawan kesiangan' adalah salah satu julukan yang pedas-ganas menerkam jantung kejujuran. maka sang campers menjatuhkan pilihan pada sikap: 'ngikut aja'. asal diam tidak bakal bergejolak. cuma seribu satu kesalahan yang bisa menguaknya. "Ully, engkau memberikan secercah harapan", gumam sang campers. di kantor ini, berbohong bisa didedikasikan untuk 'kebaikan' banyak orang, 'kehidupan' banyak kepala, dan 'detak' banyak jantung. ooohhh.....jagad dewa batara...olak-aliking ndoya neng ngareping mata... (jungkir baliknya dunia di depan mata)... orang jawa menyebutnya sebagai zaman edan. zaman yang muncul dalam tahap-tahap sejarah tertentu dan akan berakhir bila seorang ratu adil muncul lagi untuk mengembalikan keadaan tata tentrem kerta raharja. ratu adil? hehehe...waiting for godot itu namanya... godot, ratu adil, atau pahlawan kesiangan beda-beda tipis mungkin. [nah, mengenai godot ini, sang campers sebetulnya pernah punya pengalaman. suatu malam ia bermimpi maen teater panggung. saat sesi monolog, dari sudut atas sebelah kiri panggung ia dibisiki oleh suara berat yang tak dikenalnya. lirih suara itu bertutur: "jemput saja si godot itu, jangan ditunggu". dan ketika suara itu fade out, ia baru sadar bahwa di tempat duduk penonton tidak ada satu orang pun terlihat]. dan waktu bangun dan berangkat kerja lagi, sang campers masih saja bisa dipaksa untuk seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa, selain 'ngikut aja' tadi. tapi ia masih bisa berpikir positif (hahaha...taek!): semuanya pasti akan terkuak sendiri. benturan tidak hanya antara bawahan-atasan, tetapi juga dengan rekan kerja, sang campers dengan reporternya, dengan driver pun pernah, dll dll. nah, dalam fase ini perlahan-lahan terbangunlah apa yang dinamakan dengan babak 'gara-gara'. (baca: seperti membaca goro pada goro batara sakti). babak dimana ketegangan demi ketegangan silih berganti. bahkan bisa saja ketegangan itu tak putus-putusnya sepanjang hari. kamera jadi tidak fokus.

ketika aku bercermin, kulihat ia semakin jelas...

dalam planet pewayangan, jejer gara-gara adalah sesi di mana terjadi ketegangan yang dialami oleh tokoh utama lakon yang bersangkutan [sebut saja Arjuna]. biasanya dia sedang berada dalam sebuah perjalanan melintasi hutan yang penuh bahaya. Batin dan raganya terasa tegang. Ketegangan-ketegangan itu tercermin dalam alam: bumi yang bergoyang, gunung meletup-letup, dan pasang air teluk yang merendam hati dan semakin tinggi bercampur dengan isak tangis dan keringat para penghuni alam. ketegangan bisa memuncak bila arjuna bertemu dengan musuh-musuhnya [bala kurawa]. saat itu terjadilah pertempuran yang hebat dan menentukan (perang kembang). di gedung berlantai sembilan ini, sang campers pun mengalami ketegangan yang hampir sama, denyut nadinya sering mengeras dan semakin tak beraturan. bila sedang down, pikirannya melayang dan sekali waktu nyangkut pada wacana terbuka pindah kerja yang ia rasa semakin-lama-(justru)semakin dinamis. di tahap ini, ki dalang berusaha keras untuk menunjukkan segala ketrampilan teknik dan kelincahan tuturnya untuk mementaskan sikap tenang arjuna dalam menghadapi kekuatan-kekuatan kasar dan serangan-serangan liar lawan-lawannya. tapi arjuna tidak bisa tenang dalam dirinya sendiri. ketenangan yang ia ciptakan tidak bisa setenang bila ia ditemani oleh abdinya. hambanya yang setia. hamba yang berbudi luhur walau tidak seganteng dan seseksi dia. tapi kebijakannya melampaui jernihnya gemericik air bukit, abadinya api merapen, suburnya tanah perawan di pelosok dalam, dan sehatnya udara khayangan. dialah semar. kakak batara guru. guru jawa asli yang paling berkuasa. ia adalah paradoks itu sendiri. pembantu yang dewa. dewa yang pembantu. bukan sembarang pembantu. dialah pembantu batin. batin arjuna. tempat konsultasi yang paling dicari. kalau tidak ada semar, arjuna bakal tersesat di hutan tadi. dan semar tahu itu. maka ia sering muncul saat gara-gara, saat ketegangan hampir mencapai klimaksnya. saat sang arjuna menoleh kanan-kiri, bingung mencari pegangan, merindukan pengayoman. saat itulah semar manggung berbalut kesederhanaan, berhiaskan aneka ria canda penawar gundah gulana sang arjuna. apabila semar, wayang yang tak terselami, bijaksana, sederhana, merakyat, baik hati, dan lucu itu muncul, maka arjuna pun merasa aman dari segala bahaya. tujuannya di balik hutan sana rasanya sudah semakin dekat saja. badannya yang letih berangsur pulih, busur panahnya pun menegang siap mengantarkan anak panahnya ke dada musuh. ia seakan baru saja menemukan jati dirinya kembali. semar memang pandai membesarkan hati. sehingga arjuna pun beroleh bekal niat baru, pola pikir yang diperbarui. mongkok hatinya, gembira ia, walau di seberang sana lawan-lawannya semakin keras berpikir, menyusun strategi untuk tak henti-hentinya memojokkannya. di hadapan arjuna semar muncul sebagai dirinya.

namun di hadapan sang campers, ia berwujud lain. sebagian dirinya manunggal dengan ibu dewi. seorang wanita tegar yang penuh semangat. sang campers menemuinya di padang panjang, bukittinggi, sumatera barat. pagi hari, otot semar berayun bersama tangan lincah ibu dewi, menyapu halaman dan kantoran sebuah universitas yang tidak bisa di bilang sempit. siangnya mobile ke sana kemari bersama deru motor wanita berjilbab itu yang sesekali mangkal di pasar dan sudut-sudut gang yang terlihat orang. supaya orang-orang yang butuh pulang atau bepergian bisa dengan mudah menemukannya dan berbisik: 'antar saya ke rumah ya uni, biasa aja ya, 5ribu'. dan bu dewi pun meluncurkan sepeda motornya menuju tempat yang dituju sang pembonceng. sejak ditinggal suaminya--dengan alasan yang kurang memadai bagi dirinya, ia harus mencukupi kebutuhan hidupnya bersama dua orang anaknya yang masih kecil. dan sekarang ditambah kedua orang tuanya yang belum lama ini pulang kampung dan memilih tinggal serumah dengannya. lengkap sudah 'beban' hidupnya. waktu meminta untuk mengulang beberapa gerakan, sang campers pun melihat ketulusan yang tiada tara di mata bu dewi. luar biasa. teriaknya tidak kalah dengan tukang ojek pria. "ojek uda... mari uni saya antar!", teriaknya di antara kerumunan orang yang baru saja keluar dari pasar. sungguh mengagumkan orang ini. bisik sang campers dalam hati. dan ketika sang campers mengambil close up mukanya, ia sedikit terharu. tidak ada rasa malu dan canggung berkumpul bersama pengojek pria lainnya. di sana, ia melihat bayangan semar. dari wajahnya yang tak ber make-up itu, terpancar integritas yang tinggi. kejujuran pada kehidupan. ia menghidupi pekerjaan itu. dan pekerjaan itu menghidupinya. sejenak sang campers terperanjat. 'apa aku sudah menghidupi pekerjaanku?', ia tercekat. apa yang sudah aku berikan padanya? integritas? totalitas? atau hanya sekedar rutinitas? formalitas? atau batu cadas (untuk segera melompat ke pekerjaan yang lain)? ia pun tertunduk, menekuri kamera PD-170 nya yang diam... semar berbicara lewat hal keseharian. ia membesarkan hati dengan mewujud pada ketulusan seorang dewi yang mengukir hidup dengan sapu dan motor kreditannya, menghidupi banyak raga dan jiwa. apa yang bisa aku berikan dengan kameraku?... sepulangnya ke hiruk pikuk ibu kota, ia bertemu lagi dengan dinding tebal yang mokal bisa dirobohkan hanya dengan sejengkal integritas. namun bermodal hal yang cuma sejengkal itu, ia akan segera melawan. "dengan apa?", tanya hatinya. "BERKARYA!", jawab nalarnya. ya... menggambar dengan tulisan, menulis dengan gambar...

perlahan semar menepuk pundakku. aku agak canggung untuk menoleh. ia tahu itu. lalu sepintas aku mendengar suara lirih: aku ada di mana-mana, temuilah...


*campers: camera person

Selasa, 22 April 2008

koyak

Apa yang bisa kuperbuat untukmu, kekasihku
sementara aku sendiri pontang-panting mencari jati diriku?
Mungkinkah kita akan selalu sanggup 'tuk saling memahami
sementara dunia seakan gonta-ganti wajah?

Ada kalanya kuberanikan diri terjun ke ngarai
hanya ingin memungut setangkai romantisme
untuk kuselipkan di antara rambut dan telingamu.
Ada kalanya kau tetap mantap bertahan
walau aku semakin tak terpahami.

Waktu mengalir deras menjebol tanggul kehampaan dan kaganjilan hubungan kita,
mengharuskan kita untuk selalu membuatnya menjadi padat dan genap.

"Bangun dan bercahayalah!", kataku sembari terus berusaha untuk menguapkan kantuk.
"Tidurlah selagi lelah menyelamiku!", saranku dalam keletihan tertahan.

Aku tidak hanya akan mendendangkan lagu,
tetapi juga memujikan lirik kesukaanmu secukupnya.

Namun sayang beribu maaf bila nanti
aku lebih sering tidak sempat kalau tidak kelupaan.
Sungguh heran aku menatap keseluruhanmu
tatkala kau mengajakku untuk terus berlari,
sementara aku masih saja sibuk menggali sumur di keringnya bukit kapur.

Ciutlah sang maha cheetah yang sedang dirundung lapar
saat melihatmu gesit berlari.
Hilanglah keberaniannya untuk menandingimu
berkejaran di tanah lapang berimbun ilalang.

Awan hitam menggelayut di haru wajahmu
kau singkapkan dengan sopan dan penuh kesederhanaan.

Aku miskin keyakinan, labil tak berbentuk.
Kau bergelimang kesabaran,
tak pernah lewat menangkap daun-daun
yang luruh dari dahan kekeringan setiaku.

Kau tak terbendung,
tak terukur...
dan aku hanya bisa berlindung,
tepekur...