Jumat, 25 April 2008

balada campers* nanggung

-dilematis paradoksal-

ketika aku mulai membuka mata, semar ada...

kerja yang kita lakukan sehari-hari, sesi kejenuhannya datang pasti. pasti tapi tak tahu kapan. kehadirannya tak menentu. salah satu sebab umumnya bisa jadi adalah perasaan bahwa pekerjaan yang kita lakukan sekarang ini tidak sesuai (baca: ora pas atau lebih ekstrem lagi 'di bawah') kemampuan kita. seharusnya kita bisa melakukan sesuatu yang lebih besar--lebih cocok sebagai praktik idealisme kita--daripada ini. apalagi hampir setiap hari, waktu dan tenaga kita kita paksa untuk kita kuras. hingga kadang-kadang sewaktu kita baru saja memulai untuk mengisinya lagi, kita harus segera mengurasnya kembali. belum lagi selesai, masih ditambah celetukan-celetukan yang menyela: 'hei! kamu salah mengurasnya. bego!'. bersamaan dengan itu sering teringat pula 'besarnya' upah untuk bolak-balik mengurasnya. capek deh...! kondisi ini membuat pekerjaan kita beralih dari pondasi akal kepada yang empunya hati, perasaan. ambil contoh saja perasaan seorang campers yang berkata demikian ke arah celetukan-celetukan tadi : "oh ternyata asprod itu kerjanya 'cuma' begitu, saya mah bisa. lebih baik malah". perasaan ini begitu membuncah, tertiup angin, terbang dan lupalah ia pada daratan. tapi karena terbayang selama 1-3 tahun ke depan masih saja akan menjadi campers, terbantinglah ia pada luasnya daratan yang penuh comberan, kerikil dan tahi kuda. sejurus itu pula datanglah sang jenuh. tertawa meringis, mengejek sambil duduk ongkang-ongkang minum kopi.

sebenarnya aku tidak terlalu paham, batas kesombongan dan percaya diri (pd) setipis apa. jadi aku juga kurang mengerti, contoh tadi termasuk kesombongan atau kepercayaan diri. jenuh karena sombong atau jenuh karena pd. jadi seperti tidak ada bedanya, sebab akhirnya tiba pula pada sesi jenuh yang sama. bila ini dirasakan bermalam-malam, dan semakin larut, pindah tempat kerja adalah pilihan yang masuk akal. tentunya setelah sang campers sendiri menyadari bahwa 1-3 tahun itu sangat susah untuk dibuat seperti pop mie. namun tidak mudah juga melepaskan pekerjaan yang sekarang begitu saja. sebab belum tentu ada perusahaan lain yang mau menerimanya. dan karena belum ada pilihan lain itulah, sang campers harus tetap 'menyerahkan diri' pada apa yang biasa disebut sebagai kejahatan korporasi, baik sebagai korban atau pelaku. mau pindah belum ada yang menampung, mau stay jenuh merundung. mau berontak takut dipecat, takut kehilangan status sebagai pekerja. dan pasti sungguh malas bila dikatakan sebagai penganggur, terlebih bagi yang sudah punya calon mertua. bisa dipecat dua kali nanti. maka pecahlah jagung kejenuhan itu menjadi pop corn dilema.

kulihat ia samar-samar...

dilema ini lebih sering pasang daripada surut. letupan batin bisa saja semakin menjadi-jadi bila teringat masa kejayaan waktu SMA atau kuliah dulu. masa jaya menjadi seorang pemuda yang bisa berteriak lantang, congkak, seolah-olah bisa merobohkan dinding sekolah buatan belanda yang tebal-kokoh; meradang dan menerjang barisan satpam kampus; menyeruduk dan menyeruak barikade polisi; dan meninju kebijakan yang dianggap bodoh sambil sekali-kali mengumpat lain-lain para penguasa. masa jaya sebagai orang bebas yang terus dan terus berlari-lompat menuju cakrawala sambil menggenggam jala niat dan semangat merengkuh dan memeluk kaki langit... beteriak uaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! ...dan robohlah semua-mua yang ada di sekitar. rontok mendengar teriak penuh dendam itu. puas dan pulang dengan busungan dada, naikan dagu, sombong, mabuk di persimpangan, merasa tak terkalahkan... sampai tidur pun mimpi bertemu superman, batman, megaloman dan tentu saja robin hood. bangun pagi dan optimistis berlagu :

kubuka jendela, sapa angin pagi...
ringan kau melangkah, songsong hidup ini...
--"condet" by iwan fals--

tapi seakan hampir terlupa kalau roda nasib memang berputar, sekarang kaget tak bisa menemukan tempat untuk berteriak, berlari dan melompat. shock! stress karena lag yang tak terduga. yang ia temui hanya tembok-dinding batu yang tak disangka-sangka ternyata buatan tanah air (walaupun mungkin ada sedikit banyak pengaruh militerisme paman sam). penguasa manajemen yang kaku. sistem yang keras dan mengungkung. ketat. susah berkompromi. sulit dijebol, pun dengan linggis pengetahuan dan pengalaman. seberapa besar dan kuatkah linggismu kawan? ditantangnya kita selalu, sehari-hari... dan sang campers pun frustrasi... i'm not belong here... senandungnya suatu kali di pojok pantry. dan kalau tidak di pojokan pantry itu, di teras di salah satu lantai gedung kantornya ia menghisap kesesakan dan mengepulkan asap kejenuhan, membakar dilema yang baranya tak kunjung bisa mati. sambil sesekali melihat jam tangannya, ingin segera mengerti kapan waktu pulang ke kos. berjalan gontai bak kuli jalan kala senja kalah perang. menuju kamar 2x3-nya. pulas dan mimpi digigit ular... bangun pagi dan pesimistis berlagu :

kubuka jendela, maki angin pagi...
berat kau melangkah, 'tuk dapatkan kesempatan...
--"condet" by iwan fals--

kuseka mataku, mencoba white balance, masih samar-samar juga ia...

merasa selalu kalah dengan keadaan tidaklah membangun jiwa dan badan. dan orang yang tertindas biasanya mempunyai dua kecenderungan sikap, kalau enggak 'nglokro' (baca: menyerah), ya memberontak. sang campers dekat dengan kecenderungan yang kedua, tentu saja dengan caranya sendiri. namun bila obyek yang akan dijadikan sasaran berontak kuatnya minta ampun, maka pastilah akan terjadi benturan-benturan yang dahsyat. terlebih bila jenuh sudah mengalir ke seluruh tubuh melalui arteri dendam. mulailah sang campers berani membantah apa yang diutarakan oleh si asprod dan semakin pandai ngibul, walau dengan bungkus canda. mulai mencuri-curi waktu dan korupsi lain-lain. korupsi di sini dilakukan bisa dengan sepenuh hati bisa pula karena tidak sanggup menolak. sang campers berpikir, bila ia menolak pastilah ia sendiri yang nantinya akan ditolak oleh komunitas yang telah melanggengkannya. menutup rapat-rapat sejak lama. 'pahlawan kesiangan' adalah salah satu julukan yang pedas-ganas menerkam jantung kejujuran. maka sang campers menjatuhkan pilihan pada sikap: 'ngikut aja'. asal diam tidak bakal bergejolak. cuma seribu satu kesalahan yang bisa menguaknya. "Ully, engkau memberikan secercah harapan", gumam sang campers. di kantor ini, berbohong bisa didedikasikan untuk 'kebaikan' banyak orang, 'kehidupan' banyak kepala, dan 'detak' banyak jantung. ooohhh.....jagad dewa batara...olak-aliking ndoya neng ngareping mata... (jungkir baliknya dunia di depan mata)... orang jawa menyebutnya sebagai zaman edan. zaman yang muncul dalam tahap-tahap sejarah tertentu dan akan berakhir bila seorang ratu adil muncul lagi untuk mengembalikan keadaan tata tentrem kerta raharja. ratu adil? hehehe...waiting for godot itu namanya... godot, ratu adil, atau pahlawan kesiangan beda-beda tipis mungkin. [nah, mengenai godot ini, sang campers sebetulnya pernah punya pengalaman. suatu malam ia bermimpi maen teater panggung. saat sesi monolog, dari sudut atas sebelah kiri panggung ia dibisiki oleh suara berat yang tak dikenalnya. lirih suara itu bertutur: "jemput saja si godot itu, jangan ditunggu". dan ketika suara itu fade out, ia baru sadar bahwa di tempat duduk penonton tidak ada satu orang pun terlihat]. dan waktu bangun dan berangkat kerja lagi, sang campers masih saja bisa dipaksa untuk seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa, selain 'ngikut aja' tadi. tapi ia masih bisa berpikir positif (hahaha...taek!): semuanya pasti akan terkuak sendiri. benturan tidak hanya antara bawahan-atasan, tetapi juga dengan rekan kerja, sang campers dengan reporternya, dengan driver pun pernah, dll dll. nah, dalam fase ini perlahan-lahan terbangunlah apa yang dinamakan dengan babak 'gara-gara'. (baca: seperti membaca goro pada goro batara sakti). babak dimana ketegangan demi ketegangan silih berganti. bahkan bisa saja ketegangan itu tak putus-putusnya sepanjang hari. kamera jadi tidak fokus.

ketika aku bercermin, kulihat ia semakin jelas...

dalam planet pewayangan, jejer gara-gara adalah sesi di mana terjadi ketegangan yang dialami oleh tokoh utama lakon yang bersangkutan [sebut saja Arjuna]. biasanya dia sedang berada dalam sebuah perjalanan melintasi hutan yang penuh bahaya. Batin dan raganya terasa tegang. Ketegangan-ketegangan itu tercermin dalam alam: bumi yang bergoyang, gunung meletup-letup, dan pasang air teluk yang merendam hati dan semakin tinggi bercampur dengan isak tangis dan keringat para penghuni alam. ketegangan bisa memuncak bila arjuna bertemu dengan musuh-musuhnya [bala kurawa]. saat itu terjadilah pertempuran yang hebat dan menentukan (perang kembang). di gedung berlantai sembilan ini, sang campers pun mengalami ketegangan yang hampir sama, denyut nadinya sering mengeras dan semakin tak beraturan. bila sedang down, pikirannya melayang dan sekali waktu nyangkut pada wacana terbuka pindah kerja yang ia rasa semakin-lama-(justru)semakin dinamis. di tahap ini, ki dalang berusaha keras untuk menunjukkan segala ketrampilan teknik dan kelincahan tuturnya untuk mementaskan sikap tenang arjuna dalam menghadapi kekuatan-kekuatan kasar dan serangan-serangan liar lawan-lawannya. tapi arjuna tidak bisa tenang dalam dirinya sendiri. ketenangan yang ia ciptakan tidak bisa setenang bila ia ditemani oleh abdinya. hambanya yang setia. hamba yang berbudi luhur walau tidak seganteng dan seseksi dia. tapi kebijakannya melampaui jernihnya gemericik air bukit, abadinya api merapen, suburnya tanah perawan di pelosok dalam, dan sehatnya udara khayangan. dialah semar. kakak batara guru. guru jawa asli yang paling berkuasa. ia adalah paradoks itu sendiri. pembantu yang dewa. dewa yang pembantu. bukan sembarang pembantu. dialah pembantu batin. batin arjuna. tempat konsultasi yang paling dicari. kalau tidak ada semar, arjuna bakal tersesat di hutan tadi. dan semar tahu itu. maka ia sering muncul saat gara-gara, saat ketegangan hampir mencapai klimaksnya. saat sang arjuna menoleh kanan-kiri, bingung mencari pegangan, merindukan pengayoman. saat itulah semar manggung berbalut kesederhanaan, berhiaskan aneka ria canda penawar gundah gulana sang arjuna. apabila semar, wayang yang tak terselami, bijaksana, sederhana, merakyat, baik hati, dan lucu itu muncul, maka arjuna pun merasa aman dari segala bahaya. tujuannya di balik hutan sana rasanya sudah semakin dekat saja. badannya yang letih berangsur pulih, busur panahnya pun menegang siap mengantarkan anak panahnya ke dada musuh. ia seakan baru saja menemukan jati dirinya kembali. semar memang pandai membesarkan hati. sehingga arjuna pun beroleh bekal niat baru, pola pikir yang diperbarui. mongkok hatinya, gembira ia, walau di seberang sana lawan-lawannya semakin keras berpikir, menyusun strategi untuk tak henti-hentinya memojokkannya. di hadapan arjuna semar muncul sebagai dirinya.

namun di hadapan sang campers, ia berwujud lain. sebagian dirinya manunggal dengan ibu dewi. seorang wanita tegar yang penuh semangat. sang campers menemuinya di padang panjang, bukittinggi, sumatera barat. pagi hari, otot semar berayun bersama tangan lincah ibu dewi, menyapu halaman dan kantoran sebuah universitas yang tidak bisa di bilang sempit. siangnya mobile ke sana kemari bersama deru motor wanita berjilbab itu yang sesekali mangkal di pasar dan sudut-sudut gang yang terlihat orang. supaya orang-orang yang butuh pulang atau bepergian bisa dengan mudah menemukannya dan berbisik: 'antar saya ke rumah ya uni, biasa aja ya, 5ribu'. dan bu dewi pun meluncurkan sepeda motornya menuju tempat yang dituju sang pembonceng. sejak ditinggal suaminya--dengan alasan yang kurang memadai bagi dirinya, ia harus mencukupi kebutuhan hidupnya bersama dua orang anaknya yang masih kecil. dan sekarang ditambah kedua orang tuanya yang belum lama ini pulang kampung dan memilih tinggal serumah dengannya. lengkap sudah 'beban' hidupnya. waktu meminta untuk mengulang beberapa gerakan, sang campers pun melihat ketulusan yang tiada tara di mata bu dewi. luar biasa. teriaknya tidak kalah dengan tukang ojek pria. "ojek uda... mari uni saya antar!", teriaknya di antara kerumunan orang yang baru saja keluar dari pasar. sungguh mengagumkan orang ini. bisik sang campers dalam hati. dan ketika sang campers mengambil close up mukanya, ia sedikit terharu. tidak ada rasa malu dan canggung berkumpul bersama pengojek pria lainnya. di sana, ia melihat bayangan semar. dari wajahnya yang tak ber make-up itu, terpancar integritas yang tinggi. kejujuran pada kehidupan. ia menghidupi pekerjaan itu. dan pekerjaan itu menghidupinya. sejenak sang campers terperanjat. 'apa aku sudah menghidupi pekerjaanku?', ia tercekat. apa yang sudah aku berikan padanya? integritas? totalitas? atau hanya sekedar rutinitas? formalitas? atau batu cadas (untuk segera melompat ke pekerjaan yang lain)? ia pun tertunduk, menekuri kamera PD-170 nya yang diam... semar berbicara lewat hal keseharian. ia membesarkan hati dengan mewujud pada ketulusan seorang dewi yang mengukir hidup dengan sapu dan motor kreditannya, menghidupi banyak raga dan jiwa. apa yang bisa aku berikan dengan kameraku?... sepulangnya ke hiruk pikuk ibu kota, ia bertemu lagi dengan dinding tebal yang mokal bisa dirobohkan hanya dengan sejengkal integritas. namun bermodal hal yang cuma sejengkal itu, ia akan segera melawan. "dengan apa?", tanya hatinya. "BERKARYA!", jawab nalarnya. ya... menggambar dengan tulisan, menulis dengan gambar...

perlahan semar menepuk pundakku. aku agak canggung untuk menoleh. ia tahu itu. lalu sepintas aku mendengar suara lirih: aku ada di mana-mana, temuilah...


*campers: camera person

Tidak ada komentar: