Kamis, 16 Oktober 2008

Tapi Tapi

oleh: lukas deni setiawan

Kutatapkan perhatianku pada gerak-geriknya. Bocah perempuan gesit, pemilik rambut sebahu yang kusut-acak itu. Sepertinya, rambut itu belum pernah tersentuh sunsilk, pantene, emeron ataupun head and shoulder. Ah, apa mungkin sebaiknya bocah itu tidak perlu mengenal mereka. Biarkan rambut itu tumbuh alami walau menjadi sedikit bau dan berkutu. Bila terlanjur kenal, takutnya, kata orang, sama seperti nyobain narkoba, pakai shampoo sekali dua kali akibatnya akan keterusan dan perlahan-lahan terjebak pada keinginan untuk susah-susah meng-highlight dan rebonding. (Apa yang sebenarnya kau cari dari warna dan kemilau rambutmu, wahai kekasihku?). Cut!!!

Kedua tangan bocah perempuan itu, yang mungkin jarang sekali ia pergunakan untuk membenarkan tatanan rambutnya, mencengkeram dayung kayu tua yang saya takar usianya melebihi umur kakek bocah itu. Ia pun berjongkok mapan di ujung sampan tak bercadik itu sambil sekali-kali menolak-nolak air laut yang menopang sampannya. Ke kiri, ganti kanan, tolak, tolak, ganti kiri, kanan lagi, meluncur sebentar dan kemudian ototnya keluar untuk segera mengerem. Sungguh tangkas ia bermanuver. Ia tolak lagi air di sebelah kiri sampan untuk segera ngepot ke kanan dan masuk di antara permukaan air dan kolong rumah panggung. Kondisi itu memaksanya sedikit membungkuk untuk menyelamatkan kepalanya dari benturan balok-balok kayu yang menopang lantai rumah-rumah itu untuk kemudian muncul lagi dan berhenti di bawah plang bertuliskan "Agen Air tawar".

Sementara ia duduk di ujung sampan, dijejerkannya sepuluh jerigen warna-warni mepet dari depan kakinya berbaris membentuk dua kolom memanjang sampai ujung yang lain sampan itu. Apa itu isinya? Air. Di desa ini air tawar memang susah ditemui, secara alami memang tidak ada. Pantas saja, sebab bila kita berdiri di pinggir desa, selepas mata memandang, yang tertangkap retina hanya ... hanya ... emm ... ya, cakrawala. Desa ini dikelilingi oleh persinggungan yang romantis-eksotis antara air laut dengan langit dan akan lebih elok lagi bila matahari dengan warna sorenya yang khas itu ikut threesome, sementara kau duduk di pinggir desa menikmatinya.

Bisa jadi, bila diajak jalan-jalan ke jakarta, lewat bundaran HI, taman menteng, water bom cikarang, dan istirahat di taman-taman lain kota itu, orang-orang desa ini barangkali akan menyesalkannya. Tidak terkecuali bocah itu. Sebab, di desa ini, bila ingin minum atau memasak, air itu harus mereka beli dari darat, sementara air mancur metropolitan itu muncrat ke sana ke mari berhamburan untuk menggembirakan permainan irama sang kodok yang kerjaannya cuma kerak-kerok itu. Namun rasa sesal itu mungkin juga tak kunjung dapat ia alami, sebab siapa juga yang mau mengajak ia datang jakarta? (Mungkin harapan bocah-bocah di sini tersandar pada si Bolang atau Surat Sahabat?) Sudah banyak orang yang tahu dan mafhum akan kondisi ini, tetapi entah baru berapa yang bertindak. Mungkin kebanyakan hanya datang berkunjung, mencermati dengan (kurang) teliti, pulang, dan menulis cerita di milis atau blog alakadarnya (seperti saya).

Tapi sejenak kusadari bahwa ini bukanlah tamasya. Tapi berkat. Mak! Berkat? Buatku? Dan kemalangan buat mereka? Subhanallah! Ah, berubah pikiran aku ....

Air mulai dituangkan ke tong plastik yang ukurannya sekitar lima kali lebih besar dari jerigen milik bocah itu melalui selang-selang yang sebelumnya telah dipancing dengan pompa putar manual. Maka ibu yang menjaga warung agen air itu pun siap menerima tetangga-tetangga yang butuh air. Jelas, hal ini adalah kebutuhan, batinku, bukan nafsu atau hanya sekadar hasrat untuk menjaga prestige. Bumi ini karunia, pikirku, air ini juga. Tapi karunia untuk siapa? Siapa saja yang berhak menerimanya. Bukankah orang-orang desa ini juga sudah membangun masjid (walau belum bisa rampung sejak dua tahun yang lalu)? Ambyar pikiranku mengingat sola ini. Jiwaku sekonyong-konyong tertutup kabut kenyataan dan tak kuasa untuk memahami hal yang mengawang-awang seperti ini. Memiliki pikiran yang seperti ini di tengah desa yang seperti itu, tiba-tiba saja aku merasa menjadi manusia yang kosong mlompong bolong gejeglong-jeglong. Nihil. Manusia yang tidak ada nilai gunanya, mengambang di lautan dan pastinya dengan segera akan merindukan tenaga untuk bisa berenang mendekati dan merengkuh rumah-rumah kayu yang didesain tinggi layaknya gupon (rumah merpati) itu. Dan gupon-gupon inilah yang bersatu padu membentuk desa Tapi Tapi, sebuah desa terapung setengah jam menyeberang dari pulau Muna Sulawesi Tenggara. Waktu ke sini, aku berangkat dari jakarta pukul 18.00 wib naik pesawat, sampai di kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, sekitar 3 jam. Dari kendari menyeberang ke pulau Muna 3 jam perjalanan naik kapal feri yang sehari cuma 2 kali jalan. Dari ujung pulau Muna yang satu, naik mobil ke ujung yang lain sekitar 4-5 jam perjalanan darat yang separuh jalannya mirip relief candi borobudur, cuma nggak ada alur ceritanya. Dari situ menyeberang setengah jam naik sampan dan sampailah aku di sini.

Rumah jenis panggung saja yang bisa berdiri di desa itu. Rumah-rumah itu lebih terkesan "lahir karena keadaan" bukan karena adat kebiasaan apalagi tren. Mereka berdiri di atas karang di tengah laut yang luasnya sekitar lima kali Anfield, lapangan bola yang jadi tumpuan keringat dan air mata Steven George Gerrard. Sangat alami, seperti jamur yang tumbuh di potongan batang kelapa yang sudah rapuh dan bolak-balik dibelai hujan, atau seperti embun bagi daun pagi-pagi. Kalau air laut surut, pasir-pasir kasar di karang itu sudah siap sedia dihinggapi telapak-telapak kaki Ijol, Lintu, Pardin, Jamudin, Kirjo serta pantulan-pantulan bola sepak yang sekalipun ditendang ke arah mana jua tidak akan memecahkan kaca. Karena memang sulit menemukan jendela kaca di sana. Namun langit malah bisa jebol oleh teriakan semangat mereka, runtuh dihantam tendangan-tendangan fals yang sarat dendam kesumat pada bola-bola nasib.

Kalau tahun 2012 seluruh es di Greenland jadi mencair karena sudah tidak tahan gerah, maka bisa dipastikan desa mereka akan lenyap. Sebab saat hal itu kejadian, air laut sudah naik kurang lebih 7 meter. Set dah! Coba deh tanya sama Al Gore.

Aku (sendiri) masih duduk ongkang-ongkang kaki di salah satu gang desa itu. Gang itu terkonstruksi dari papan-papan kayu tebal berjajar yang sebagian dipaku sebagian tidak. Kalau sedang sial, kamu bisa salah injak dan terpelanting nyemplung di laut. Enam gang besar dan puluhan jalan setapak melintang-sintangi kumpulan rumah yang dihuni sekitar 450 keluarga itu. Bayangkan berapa banyak anak-anak seumuran anak SD di desa itu sementara hanya ada satu bangunan SD di situ. Aku ingat pernah bertanya pada beberapa anak kecil yang sedang bermain kelereng pagi-pagi, kenapa mereka tidak bersekolah, jawab mereka karena gurunya baru libur. Kapan gurunya masuk? Nggak tahu. Lah! Aneh! Belakangan kuketahui, guru-guru SD yang diperbantukan di desa itu memang banyak yang tidak kerasan. Sekalipun ada yang sedikit kerasan, bila rindu darat, mereka akan pulang tidak sesuai jadwal. Kapan rencana mau libur dan kapan mau balik lagi (kalau mau balik lagi) hanya guru itu seorang yang tahu. Kalau rencana itu jadi, main kelereng lah anak-anak kecil itu. Bocah perempuan itu lebih banyak waktu bermanuver untuk membantu ibunya mencari air tawar. Dan sebagian lagi membantu ayahnya memasrahkan sampan mereka kepada riak laut untuk segera menjaring kehidupan.

Lalu kapan kapitalisme mulai berjangkit di desa ini?

Sudah lama barang kali, hanya tidak terdeteksi, sebab ia merasuk sangat perlahan, seperti suntikan maut yang mulai merasuk ke nadi kita dan membuat kita lambat laun tidak sadar, pingsan, dan ....

Alam pun membisu. Aku beranjak dari tempatku duduk. Memutar sedikit leherku untuk melemaskannya. Sementara mataku mengikutinya berkeliling, tersapu beberapa parabola yang nangkring di atap rumah-rumah tah jauk dari tempatku berdiri.


Segera kulangkahkan kaki, merasa kalah lagi ....

Minggu, 05 Oktober 2008

Pasar Tempe

Kawan lihat ...

di kotaku lahir pasar
di pasarku menumpuk tempe
di piringku dia mati untuk hidupku
siang makan nasi
malam minum kopi

Kawan dengar ...

di kotaku mati pasar
di kotaku lahir pasar-super sonder tempe
di piringku dia tiada Nduk, tiada
pasar ilang kumandange
piring ilang tempene

Kawan rasakan ...

pasar itu selagi bau
tempe itu selagi hangat
bersamaku
bersama mbok-ku