Kamis, 29 Januari 2009

Setelah Kematian itu ...

oleh: lukas deni setiawan

Rasanya ada yang berubah pada persepsi tentang "kematian itu" setelah mendengar berita dari Palestina. Seakan kematian itu menjadi 'kacangan' karena semakin banyaknya jasad orang-orang sipil di sana. Ratapan menjadi barang yang murah dan tidak perlu. Sebab ketika seorang bapak sedang menangisi anaknya yang belum bisa kencing lurus itu mati kepalanya tertembus peluru, nenek-nenek di sebelahnya pingsan di atas tubuh suaminya yang sebagian perutnya rompal terkena serpihan bom. Lalu siapa yang harus berperan sebagai penghibur di sini? Jangankan menghibur orang lain, diri sendiri pun dijerat rasa khawatir menjadi sasaran malaikat maut berikutnya. Saya sendiri merasa tidak layak menuliskan hal ini sambil santai makan kacang dan minum sebotol teh.

Mungkin konflik seperti di Jalur Gaza inilah yang dikhawatirkan oleh Tolstoy, penulis Rusia, sehingga ia memilih jalan untuk menjadi seorang pasifis. Andai aku bisa selalu mengikuti jejak pada jalannya itu. Seandainya bisa pun, aku pasti akan menemui banyak sekali hal yang membuatku semakin pesimis akan dunia ini. Namun aku yakin bahwa aku sedang menuju ke sana. Aku sedang memperbaiki diri. Aku merasa sekarang aku tidak pada jalan yang seharusnya aku tempuh. Salah satu tandanya adalah keadaan perutku yang semakin membesar saja. Aku banyak makan akhir-akhir ini, ini disebabkan karena aku terlalu memikirkan diriku sendiri. Selalu berpikir bahwa aku harus meladeni perutku yang sering keroncongan. Aku berpersepsi bahwa ini adalah sebuah bentuk ketidakpedulianku pada orang lain. Pada orang-orang yang lebih keroncongan daripadaku.

Mungkin 'di sana' ada orang yang sudah bekerja sebagai pemotong dodol selama 20 tahun lebih. Atau mungkin tukang cukur sejak zaman Herman Lantang sering demo. Bahkan di Ponorogo, Jawa Timur, ada seorang Mbah Gareng (65 tahun) yang sampai ke anak cucunya hidup dari jualan arum manis keliling desa-kota. Apa ukuran kemajuan (atau mungkin lebih tepatnya perkembangan) negri kita ini sebenarnya? Kalau perkembangan menandakan sesuatu yang lebih meningkat, lantas mengapa sudah menahun mereka tidak bertambah penghasilan dan pengetahuannya? Mengapa keadaan ini bisa terjadi di saat perut saya bisa-bisanya bertambah gemuk? Sebagai kontras, selayaknya dua ujung colourbar, aku menemui temanku minggu lalu, bercerita bahwa ia akan segera dipromosikan menjadi 'bos' selang beberapa tahun (mungkin seumur jagung) semenjak dia masuk kerja di perusahaannya sekarang. 'Buku' manakah yang lembaran-lembarannya bisa menjelaskan kontras ini? Pada temanku tadi, aku hanya bisa berharap, semoga 'perjuangan' yang dahulu pernah aku rasakan bersamanya tidak serta merta hilang ditelan lobi-lobi yang harus dia lakukan untuk mempertahankan posisinya di perusahaan itu. Pun sikap humanisnya yang sangat kental akan dapat bertahan dalam pertarungannya dengan hirarki dan tuntutan manajemen.

Aku merasa jauh dari orang-orang malang itu. Aku merasakan tanda-tanda kematian yang lebih tragis sedang menggiringku.

Aku melihat daun-daun itu tidak berayun seperti biasanya,
semakin kuperhatikan semakin tidak biasa.
Kupu-kupu itu pun seakan tahu,
ada aroma lain yang menguap di sekitarnya tak sengaja ia hisap,
mukanya menunjukkan keanehan.
Dan pohon-pohon itu seperti tidak diam,
seakan mau menutunku pergi ke dunia yang lebih elok pada jalan yang terjal.
Pada dunia yang sudah terhampar semenjak dahulu,
namun belum terjamah oleh tangan-tangan yang gemuk menelan otot ....

Aku ingin melihat dunia ini sebagai dunia yang lebih polos, lebih telanjang. Aku ingin melihatnya secara lebih blak-blakan. Aku ingin lebih dekat lagi, merasakan kerasnya kulit dan membaui air juang yang keluar dari tubuh mereka bersamaan dengan derap langkah kaki yang selalu bertahan untuk tegaknya punggung yang menggendong rumput-rumput buat makan ternak mereka setiap hari.

Bisa jadi, karena itulah akhir-akhir ini aku sangat ingin naik gunung ....

Selasa, 20 Januari 2009

...

Dimanakah letak kepercayaan diri?