Sabtu, 26 April 2008

mojok, ndepis, maen game

Kalau mentok di pengutaraan konsep,
masih mungkinkah kita bicara detail?

Kita sering kesulitan untuk menjual pendapat, padahal di otak kita terbentang luas perkebunan ide siap panen. Konsep-konsep liputan hasil anyaman ide-ide itu lambat laun sepertinya akan membusuk bila ternyata tidak ada sarana transportasi yang bisa mengantarkan buah-sayur segar hasil panen itu ke pasar. Macet di jalan, ngantri berkilo-kilo. Kapan sampai, kadung nggak laku lagi! Bisa jadi penyebabnya hanya satu orang saja. Tidak usah jauh-jauh, produser kita sendiri MISALNYA--sebagai atasan yang setiap hari berhubungan langsung dengan kita. Syukur bila banyak di antara kawan-kawan punya atasan yang terbuka. Mampu mangakomodasi suara 'kuli' dan mengambil keputusan berbasiskan dialog. Keterbukaan ini patut diacungi jempol. Sebab untuk bisa terbuka seperti itu perlu pengorbanan, kerelaan dan keikhlasan berembug, serta kekuatan pikir untuk mempertanggungjawabkan dan mengutarakan hasil-rembug itu ke tingkat yang lebih atas, kepada bos-bos kita. Namun di samping itu, saya pun yakin ada di antara teman-teman punya atasan yang susah untuk berkompromi. Maunya menjalankan konsepnya sendiri. Sering menolak usul-usul kita tanpa alasan yang masuk akal. Mungkin segan (kalau tidak mau disebut 'malu') bila harus menerima konsep anak buahnya sebagai masterplan. Sampai-sampai kita sering tidak habis pikir dibuatnya. Atau bahkan ada di antara kita yang mungkin sempat terbengong-bengong menyaksikan eksekusi dari konsepnya yang sangat-sangat tidak matang di lapangan, namun ia tetap saja terlihat PD dan terus-menerus menampik alternatif-alternatif konsep yang lain. Terutama dari anak buahnya sendiri.

Bukan maksud merendahkan konsep-konsep atasan kita, namun kita tidak seharusnya mengorbankan hak bicara kita hanya untuk kemenangan orang-orang yang tidak kompromistis. Arogan. Tidak sehat itu namanya, bukan? Harus diperiksakan, kalau perlu di-opname sampai eling maneh. Orang-orang seperti ini, kata Cak Nun, sebenarnya adalah orang-orang yang perlu dikasihani. hehehe... mereka berlaku seperti itu kadang hanya karena supaya mereka tetap diakui. Diakui sebagai atasan dan dimengerti kalau dia punya wewenang. Walau sebenarnya tidak perlu sampai sebegitunya cara ia menunjukkan wewenangnya, kita pun sebagai orang yang sadar dan waras sewajarnya juga sudah mengerti kalau seorang atasan itu punya wewenang. Mereka melakukan hal itu karena mereka butuh kepercayaan diri bahwa mereka kuat. Dan hanya orang yang tidak aman yang berusaha untuk terus menekan, sebab mereka meyakini bahwa orang yang berhasil ditekannya tidak mampu lagi membuat dirinya tidak aman. Namun apakah orang-orang seperti ini yang malah semakin mendorong kita untuk perlahan-lahan menciptakan budaya tanding? Hek2... Kalau iya, sah-kah kita berterima kasih kepada mereka? Halaah...

Saya yakin, ada bercokol pribadi-pribadi hebat di antara kita. Sadarkah kawan-kawan, kalau pribadi itu bukan tidak mungkin adalah kawan-kawan sendiri? Kamu! Bukan tidak mungkin mereka menekan kawan-kawan supaya kehebatan kawan-kawan tidak terlihat oleh orang lain dan semakin tidak bisa tumbuh? Mereka memanfaatkan kawan-kawan habis-habisan untuk membuat kawan-kawan lupa dan tidak sempat mengolah kebun ide kawan-kawan sendiri? Sehingga yang terjadi adalah saat kita pulang menemui kebun ide kita, kita sedang didera kelelahan yang amat sangat. Dan ketika kita baru akan memulai mengambil cangkul, kita sudah tertidur... Nestapa...

Berhadapan dengan orang semacam itu, rasanya bicara pun jadi susah, apalagi mengungkapkan konsep. Kaya' baru ngomong sama tebing. Suara kita kembali lagi ke kita. Sedang sang tebing masih berdiri angkuh melihat ke bawah, melihat ke kita yang kecil berdiri merana di ujung jempol kakinya--yang di dekat kukunya tumbuh jarang-jarang rambut yang lucu menggelikan itu. Bila konsep kita mentok, masih bisakah kita menelusup sampai ke detail? Kalau buat campers, ya detail pengambilan gambar misalnya. Mendulang sudut-sudut pandang kamera yang sedikit banyak mendukung keberlangsungan konsep (alternatif) kita, untuk mencoba keluar dari koridor lempeng atasan. Cabut bulu jempol kakinya, niscaya kumbakarna pun akan bangun.

Apakah kawan-kawan tidak terganggu dengan seruan: Kalau ada yang merasa 'belum cukup umur' untuk bicara, ya tidak usah bicara dulu! Belum Waktunya! (Menurut kawan-kawan apakah perasaan seperti ini perlu kita suburkan? hehehe... retorik ketoke...Apakah hal itu malah tidak mengecilkan arti dari keberadaan kita sendiri sebagai makhluk yang eksis?). "Kalau takut atau segan, itu lumrah. Sebab kita masih precil di sini", kata sebagian orang. "Manut-manut saja dulu. Konsep biar atasan yang memikirkan. Kita mah yang teknis-teknis saja", tambah sebagian orang itu. Betulkah begitu?

Usul saya, kalau kita masih merasa sebagai orang yang punya hak bebas, kalau memang berat ongkos di pengutaraan konsep, bicaralah 'diam-diam' dengan gambar di lapangan. Kalau mentok dengan perang tatap muka, ya gerilya--mencontek pangeran Diponegoro. Kerja ekstra memang. Berlari ke sana ke mari, putar otak (Benar-benar memutarnya!), sangat butuh perpanjangan waktu dan tenaga untuk mencari framing, pengaturan warna, iris, angle, dan kontrol audio. Kalau perlu sampai serpih-serpih pilihan yang muskil sekalipun. (Kalau yang ini emang perlu sharing sajake... Lha kapan le dho sido arep kumpul ki...) Itu sangat mungkin kita lakukan, sebab kitalah yang berhubungan langsung dengan kondisi lapangan: bergelut dengan lumpur, berkubang di air bah, basah kuyup guyuran hujan, memelototi korban-korban, merekam langsung setiap cuil kata yang diucapkan narasumber, dan mendengar dengan jelas degup jantung mereka...Bukankah sungguh sayang bila momen-momen itu tak dapat terrangkaikan menjadi sebuah karya yang bagus-ideal (yah...setidaknya menurut kita) dan menjadi bahan eksploitasi konsep yang amburadul? Sayang bukan kepalang...lang...lang...lang....

Di lapangan, kita pun akan menjadi semakin geregetan bila kita jadi sasaran tembak langsung arogansi itu sampai ke hal-hal teknis. Bahkan ia selalu menguntit pekerjaan kita sampai seperti bayangan kita sendiri menguntit kita. Dengan begitu ia semakin leluasa untuk membombardir kita dengan perintah ini-itu. "Ambil gambar dari sini, jadikan bunga itu latar depan!", katanya dengan suara bulat, "atau dari sana... kamu lihat bukit itu 'kan? Ya, kamu naik ke sana... pakai tripod!", tambahnya bak sedang bicara dengan robot. Profesor Agasha pun mungkin tidak akan bicara begitu pada makhluk-makhluk rakitannya. Dan yang lebih membuat kita dongkol adalah apa yang disuruhkannya itu sebenarnya sudah terpikir oleh kita sebelumnya. Hehehe. nggondhuk selangit rasanya! Kalau sudah intervensi sampai ke level ini, maka kita harus mencurinya melalui pencarian detail di balik detail, seperti layaknya seorang jurnalis asli yang dituntut untuk selalu dapat menguak story behind the real story).

Capek membaca celotehan seperti ini?
Mendhingan mojok, ndepis, maen game.

-- .
bak kopi pekat toraja bagiku
hal-hal ini kututurkan
untuk menjaga mataku sendiri tetap terbuka
sampai kokok ayam pertama
mengajak hari untuk segera bangun dan berlari...
banter le mlayu koyo dioyak asu...
-- .

2 komentar:

noel mengatakan...

nek caraku yo ... tapi sekali lagi kalo pake caraku:
mojok, ndepis, terus ngising!

it's compilated ... eh ... complicated.

Salam pembangunan!

noel mengatakan...

Huuu ... ta enteni tulisanmu karo ndepis kebelet pipis